BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Menurut Organisasi Kesehatan
Dunia World Health Organization
(WHO), tiap tahun diseluruh dunia ada 490.000 perempuan terdiagnosis kanker leher
rahim, 240.000 orang diantaranya meninggal dunia. Sebanyak 80 persen terjadi di negara berkembang (Seksfile,
2007).
Kanker leher rahim merupakan
masalah kesehatan terbesar di negara berkembang akibat terbatasanya akses
screening dan pengobatan. Setiap tahunnya, terdapat kurang lebih 400 ribu kasus
baru kanker leher rahim (cervical cancer), sebanyak 80% terjadi pada wanita
yang hidup di negara berkembang, penderita terbanyak kanker leher rahim ada di
Indonesia (Pelita, 2007).
Kanker leher rahim merupakan
kanker yang terbanyak diderita wanita-wanita di negara yang sedang berkembang
termasuk Indonesia .
Di negara maju kanker ini menduduki urutan ke-10 dan bila digabung maka ia
menduduki urutan ke-5, sebagaimana kanker pada umumnya maka kanker leher rahim
akan menimbulkan masalah-masalah berupa kesakitan (morbiditas). Dengan demikian
penanggulangan kanker leher rahim harus dilakukan secara menyeluruh dan
terintegrasi, jika dilihat penyebarannya di Indonesia
92,44% terakumulasi di Jawa dan Bali (Aziz,
2001).
Menurut perkiraan Departemen
Kesehatan, terdapat sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus
setiap tahunnya. Biasanya tanpa gejala pada stadium dini, tetapi jika ditemukan
pada stadium dini, kanker leher rahim dapat disembukan dengan baik. Lebih dari
70 persen kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan stadium
lanjut (Bustan, 2007).
Kanker leher rahim termasuk
kanker yang sering ditemukan pada kalangan wanita yang telah kawin, hygiene
seksual, infeksi leher rahim, kekerapan melahirkan dan sosial ekonomi rendah.
Kanker leher rahim merupakan salah satu yang dapat ditemukan secara dini
melalui pemeriksaan Pap Smear setiap tahun bagi semua wanita dewasa (Willie,
2007).
Kanker leher rahim adalah
penyakit kanker yang menyerang leher rahim wanita. Jumlah penderita kanker
leher rahim di Indonesia
sekitar 200 ribu setiap tahunya dan menduduki peringkat kedua setelah kanker
payudara. Namun demikian walaupun penyakit ini merupakan penyakit keganasan
yang dapat menyebabkan kematian, kesadaran untuk memeriksakan diri dirasakan
sangat rendah. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya pengetahuan mengenai
kanker ini. Indikasinya adalah lebih dari 70% penderita yang datang ke rumah sakit
sudah pada kondisi lanjut (bkkbn, 2008).
Faktor-faktor yang dianggap sebagai
faktor resiko terjadi kanker leher rahim adalah usia perkawinan muda atau
hubungan seks dini, yakni sebelum usia 20 tahun. Faktor ini dianggap
faktor risiko terpenting dan tertinggi, ganti-ganti mitra seks yakni wanita
pekerja seks ditemukan 4 kali lebih sering terserang kanker leher rahim, higiene
rendah yang memungkinkan infeksi kuman, paritas tinggi lebih banyak, ditemukan
pada ibu dengan banyak anak, jumlah perkawinan yakni ibu dengan suami yang
mempunyai lebih dari satu atau banyak istri lebih beresiko kanker leher rahim,
infeksi virus ; terutama HPV (Bustan, 2007)
Ada beberapa faktor lain yang
dicurigai yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker leher rahim antara
lain, mulai melakukan hubungan seksual pada usia muda, sering berganti-ganti
pasangan seksual, sering menderita infeksi di daerah kelamin, melahirkan banyak
anak, kebiasaan merokok (risiko dua kali lebih besar), defisiensi vitamin A, C,
E (Rachmad, 2007).
Departemen Kesehatan RI
memperkirakan kanker leher rahim di Indonesia adalah 1000 per 100.000
penduduk pertahun. Data yang dikumpulkan dari 13 laboratorium patologi-anatomi
di Indonesia menunjukkan bahwa frekuensi kanker leher rahim tertinggi diantara
kanker yang ada di Indonesia, jika lihat penyebarannya di Indonesia terlihat
bahwa 92,44% terakumulasi di Jawa-Bali (Aziz, 2001).
Menurut laporan Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang tahun 2006, jumlah kasus kanker
leher rahim yang dirawat di Instalasi Rawat Inap Kebidanan dan Penyakit
Kandungan cenderung mengalami peningkatan tiap tahunnya, yaitu pada tahun 2003
sebanyak 7 kasus dan pada tahun 2004 menjadi 57 kasus kemudian meningkat pada
tahun 2005 sebanyak 223 kasus dan pada tahun 2006 sebanyak 329 kasus (Yully,
2007).
Berdasarkan uraian di atas
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan umur dan paritas
ibu dengan kejadian kanker leher rahim
di instalasi rawat inap kebidanan dan penyakit kandungan Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007”.
1.2
Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara
umur dan paritas ibu dengan kejadian kanker leher rahim di instalasi rawat inap
kebidanan dan penyakit kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Palembang tahun 2007?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan
antara umur dan paritas ibu dengan kejadian kanker leher rahim di instalasi
rawat inap kebidanan dan penyakit kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin Palembang tahun 2007.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Diketahuinya hubungan umur ibu dengan
kejadian kanker leher rahim di
instalasi rawat inap kebidanan dan penyakit kandungan Rumah Sakit Umum Pusat
Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
2. Diketahuinya hubungan paritas ibu dengan
kejadian kanker leher rahim di
instalasi rawat inap kebidanan dan penyakit kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Bagi Institusi Kesehatan (RSMH Palembang )
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan masukkan bagi RSMH Palembang
tentang kanker leher rahim dalam penyusunan kebijakan pelayanan kesehatan
reproduksi serta peningkatan pengetahuan bagi tenaga kesehatan tentang hubungan
umur dan paritas ibu dengan kejadian kanker leher rahim.
1.4.2
Bagi Institusi Pendidikan
Menambah referensi dan
berguna dalam proses belajar mengajar serta berbagai acuan untuk atau
penelitian selanjutnya.
1.5
Ruang Lingkup
Penelitian ini bersifat
deskriptif analitik, membahas hubungan antara umur dan paritas ibu dengan
kejadian kanker leher rahim pada ibu-ibu yang pernah dirawat di instalasi rawat
inap kebidanan dan penyakit kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin Palembang tahun 2007. Data yang diambil adalah data sekunder.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kanker Leher Rahim
2.1.1
Definisi
Kanker
leher rahim adalah keganasan yang terjadi pada leher rahim (serviks) yang
merupakan bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama
(vagina) (Leaflet Promkes Depkes, 2006).
Kanker
leher rahim adalah penyakit yang menyerang leher rahim wanita. Jumlah penderita
kanker leher rahim di Indonesia
sekitar 200 ribu setiap tahunnya dan menduduki peringkat kedua setelah kanker
payudara. Namun demikian walaupun penyakit ini merupakan penyakit keganasan
yang dapat menyebabkan kematian, kesadaran untuk memeriksakan diri dirasakan
sangat rendah. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya pengetahuan mengenai
kanker ini. Indikasinya adalah lebih dari 70% penderita yang datang ke rumah
sakit sudah pada kondisi lanjut (bkkbn, 2008).
Kanker leher rahim (cervical cancer) adalah
kanker yang terjadi adalah kanker yang terjadi pada serviks, uterus, suatu
daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim
yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina). Kanker ini
biasanya terjadi pada wanita yang telah berumur tetapi bukti statistik
menunjukkan bahwa kanker leher rahim dapat
juga menyerang wanita yang usia antara 20 sampai 30 tahun (Kompak, 2005).
2.1.2
Etiologi
Penyebab kanker leher
rahim belum diketahui secara pasti. Tetapi 95% kasus ditemukan HPV (Human
Pappiloma Virus) positif. Namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi :
1. Menikah atau melakukan hubungan
seksual pada usia muda (< 17 tahun).
2. Sering berganti-ganti pasangan
seksual.
3. Berhubungan seksual dengan pria
yang sering berganti-ganti pasangan.
4. Riwayat infeksi berulang di daerah
kelamin atau radang panggul.
5. Wanita yang sering melahirkan.
6. Wanita perokok memiliki risiko dua
kali lebih besar dari bukan perokok.
(Leaflet Promkes
Depkes, 2006).
2.1.3
Tanda dan Gejala
Pada
kondisi prakanker, umumnya tidak ada gejala dan tak ada rasa nyeri. Kanker ini
dapat dideteksi dengan menggunakan Pap Smear. Bila kanker ini sudah muncul,
gejalanya dapat berupa :
1.
Terdapat keputihan berlebihan,
berbau busuk dan tidak sembuh-sembuh.
2.
Adanya perdarahan tidak normal,
ini terjadi hanya bila setelah sel-sel leher rahim menjadi bersifat kanker dan
menyerang jaringan-jaringan disekitarnya.
3.
Pemberhentian darah lewat
vagina.
4.
Meningkatnya perdarahan selama
menstruasi.
5.
Terjadinya siklus di luar
menstruasi dan setelah hubungan seks.
6.
Nyeri selama berhubungan seks.
7.
Kesulitan atau nyeri dalam
perkemihan.
8.
Terasa nyeri di daerah sekitar
panggul.
9.
Perdarahan ada masa pra atau
pasca menopouse.
10.
Bila kanker sudah mencapai
stadium tiga ke atas, maka akan terjadi pembengkakan diberbagai anggota tubuh,
seperti betis, paha, tangan dan sebagainya. (Pelita, 2007).
2.1.4
Patologi
Karsinoma serviks timbul di batas antara epitel yang
melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis serviks yang disebut
sebagai squamo-columnar junction
(SCJ). Histologik antara epitel gepeng berlapis (squamous complex) dari porsio dengan epitel kuboid/silindris pendek
selapis bersilia dari endoserviks kanalis serviks. Pada wanita muda SCJ ini
berada di luar ostium uteri eksternum, sedang pada wanita berumur > 35
tahun, SCJ berada di dalam kanalis serviks. Pada awal perkembangannya kanker
serviks tak memberi tanda-tanda dan keluhan (Sarwono, 1997).
2.1.5
Patogenesis
Serviks atau leher rahim/mulut rahim merupakan bagian
ujung bawah rahim yang menonjol ke liang senggama (vagina). Kanker serviks
berkembang secara bertahap, tetapi progresif. Proses terjadinya kanker ini
dimulai dengan sel yang mengalami mutasi lalu berkembang menjadi sel displastik
sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia
ringan, displasia sedang, displasia berat dan akhirnya menjadi karsinoma in
situ (Darlimarta, 2004).
Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spektrum
penyakit yang dimulai dari displasia ringan (NIS
1), displasia sedang (NIS 2), displasia berat
dan karsinoma in situ (NIS
3) untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif (Sjahrul Sjamsuddin,
2001).
2.1.6
Epidemiologi
Di dunia diperkirakan 7,6 juta orang meninggal akibat
kanker pada tahun 2005 (WHO, 2005) dan 84 juta orang akan
meninggal hingga 10 tahun ke depan. Kanker merupakan penyebab kematian no 6 di Indonesia
(Depkes, 2003). Diperkirakan terdapat 100 penderita kanker baru untuk setiap
100.000 penduduk pertahunnya. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi angka
kejadian kanker adalah geografis (misalnya kanker serviks lebih banyak di
negara ASIA ), suku bangsa, variasi genetik, jenis kelamin (misalnya kanker payudara lebih
banyak pada wanita) dan pengaruh lingkungan (makanan, pola hidup)
(detak, 2007).
Dengan
mengetahui faktor epidemiologi lesi prakanker serviks atau servikal
latraepitelial (CIN), diharapkan dapat memperkecil kejadian dan akhirnya dapat
menurunkan kanker serviks. Faktor epidemiologis merupakan faktor yang dijumpai dalam
masyarakat yang dapat meningkatkan kejadian lesi prakanker serviks dan kanker
serviks.
Faktor
Epidemiologi Lesi Prakanker atau servikal latraepitelial (CIN)
1. Sosial Ekonomi Rendah
a. Makanan kurang nilai gizi, protein,
vitamin dan folikasid.
b. Terjadi infeksi menahun sekitar
serviks.
c. Menurunnya pH serviks dan menimbulkan
perubahan neoplastik sel skuamosa serviks.
d. Bentuk infeksi serviks : STD :
Trikomonas vaginitis, Kandida albikan, Infeksi yonore, Infeksi HPV.
2. Peningkatan infeksi makin besar pada
keadaan :
a. Frekuensi hubungan seks tinggi.
b. Multipartner.
c. Kehamilan dan persalinan melebihi tiga
orang.
d. Jarak kehamilan terlalu dekat.
e. Pemakaian IUCD karena iritasi tali
IUCD.
f. Pemakaian Pil oral yang dapat
menurunkan asam folik.
g. Perkawinan dalam usia muda karena serviks
belum seluruhnya tertutup oleh sel skuamosa, sehingga mudah mengalami
perlukaan.
(Manuaba, 2001).
2.1.7
Penyebaran
Dalam perjalanannya, kanker mulut
rahim membutuhkan waktu yang cukup lama dari kondisi normal sampai menjadi
kanker, dalam penelitian secara epidemiologik dan laboratorik ada beberapa
faktor yang berperan secara langsung maupun tidak langsung. Dalam pemantauan
perjalanan penyakit, diagnosis displasia sering ditemukan pada usia 20 tahun.
Karsinoma in situ pada usia 25-35 tahun dan kanker serviks invasif pada usia 40
tahun.
Kondisi prakanker sampai karsinoma
in situ (stadium 0) sering tidak menunjukkan gejala karena proses penyakitnya
berada di dalam lapisan epitel dan belum menimbulkan perubahan yang nyata dari
mulut rahim. Pada akhirnya gejala yang ditimbulkan adalah keputihan, perdarahan
paska senggama dan pengeluaran cairan encer dari vagina, lalu jika sudah
menjadi invasif akan ditemukan gejala seperti
perdarahan spontan, perdarahan paska senggama, keluarnya cairan (keputihan) dan
rasa tidak nyaman saat melakukan hubungan seksual (Bustan, 2007).
2.1.8
Pembagian Tingkat
Keganasan
Tingkat
keganasan klinik dibagi menurut klasifikasi Figo (1994), sebagai berikut :
Tabel 1. Tingkat Keganasan Klinik menurut Figo (1994)
STADIUM
|
|
0
|
Karsinoma in situ, karsinoma intraepitelial. Kasus
stadium 0 jangan dimasukkan ke dalam statistika terapetik untuk karsinoma
invasif.
|
l
|
Karsinoma terbatas di serviks saja (perluasan ke
korpus boleh diabaikan)
|
la
|
Kanker invasif hanya ditemukan secara mikroskopik.
Semua lesi makroskopis, sekalipun dengan invasi stoma terukur dengan
kedalaman maksimum 5 mm dan tidak lebih dari dasar dari 7 mm. (Kedalaman
invasi hendaknya tidak lebih dari 5 mm diambil dari dasar lapisan epitel,
bukan permukaan kelenjar, yang menjadi asal kanker tersebut. Keterlibatan
ruang pembuluh, baik vena maupun limfe, tidak mengubah stadium.
|
|
Invasi stroma terukur tidak lebih
dalam dari 3 mm dan luasnya tidak lebih dari 7 mm.
|
la1
|
Invasi stroma terukur lebih dalam dari 3 mm dan kurang
dari 5 mm dan luasnya tidak lebih dari 7 mm.
|
la2
|
Lesi klinis terbatas pada serviks atau lesi preklinis
lebih dari 7 mm.
|
lb
|
Lesi klinis berukuran kurang dari 4 cm.
|
lb1
|
Lesi klinis lebih dari 4 cm.
|
lb2
|
Karsinoma meluas melampaui serviks, tetapi belum
meluas pada dinding panggul; karsinoma melibatkan vagina, tetapi tidak sampai
sepertiga bawah.
|
ll
|
Karsinoma meluas melampaui serviks, tetapi belum
meluas pada dinding panggul; karsinoma melibatkan vagina, tetapi tidak sampai
sepertiga bawah.
|
lla
|
Tidak ada keterlibatan parametrium secara nyata.
|
llb
|
Keterlibatan parametrium jelas.
|
lll
|
Karsinoma sudah meluas pada dinding panggul; pada
pemeriksaan rektum, tidak ada ruang yang bebas kanker diantara tumor dan
dinding panggul; tumor melibatkan sepertiga bawah vagina; semua kasus dengan
hidronefrosis atau ginjal tidak berfungsi harus dimasukkan, kecuali kalau
diketahui disebabkan oleh penyebab lain.
|
llla
|
Tidak ada perluasan ke dinding panggul, tetapi
sepertiga bagian bawah vagina terkena.
|
lllb
|
Perluasan ke dinding panggul atau hidronefrosis atau
ginjal tidak berfungsi.
|
IV
|
Karsinoma sudah meluas melewati panggul sejati atau
ginjal tidak berfungsi.
|
IVa
|
Penyebaran tumor ke organ-organ didekatnya.
|
IVb
|
Penyebaran ke organ-organ jauh.
|
Sumber : Manuaba, 2001
2.1.9
Diagnosis Serviks
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil
pemeriksaan berikut :
1.
Pap Smear
Pap smear dapat mendeteksi sampai
90% kasus kanker serviks secara akurat dan dengan biaya yang tidak terlalu
mahal. Akibatnya angka kematian akibat kanker servikspun menurun sampai lebih
dari 50%. Setiap wanita yang telah aktif secara seksual atau usianya telah
mencapai 18 tahun, sebaiknya menjalani Pap Smear secara teratur yaitu 1
kali/tahun. Jika selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil yang normal,
Pap Smear bisa dilakukan 1 kali/2-3 tahun.
Tingkat Kanker
Leher Rahim Dari Hasil Pemeriksaan PAP SMEAR
a.
Normal .
b.
Displasia ringan (perubahan
dini yang belum bersifat ganas).
c.
Displasia berat (perubahan
lanjut yang belum bersifat ganas).
d.
Karsinoma in situ (kanker yang
terbatas pada lapisan serviks paling luar).
e.
Kanker invasif (kanker telah
menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya).
2.
Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada
pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika
Pap Smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker.
3.
Kolposkopi (pemeriksaan serviks
dengan lensa pembesar)
4.
Tes Schiller
Serviks
diolesi dengan larutan yodium, sel yang sehat warnanya akan berubah menjadi
coklat, sedangkan sel yang abnormal warnanya menjadi putih atau kuning.
(Medicastore, 2008)
2.1.10
Pencegahan Kanker Leher
Rahim
Upaya
pencegahan yang paling utama adalah menghindarkan diri dari faktor resiko,
seperti :
1.
Menghindarkan diri dari
hubungan seks pada usia muda, pernikahan pada usia muda dan berganti-ganti
pasangan seks.
2.
Merencanakan jumlah anak ideal
bersama suami dan memperhatikan asupan nutrisi selama kehamilan.
3.
Menghentikan kebiasaan merokok
dan berperilaku hidup sehat.
(bkkbn, 2008)
Menurut WHO, diperkirakan lebih dari 40% dari seluruh kanker dapat
dicegah, ketimpangan negara maju dan berkembang adalah dalam hal pencegahan,
deteksi dan pengobatan. Pencegahan kanker bersifat umum dan khusus :
1.
Pencegahan umum meliputi
promosi kesehatan (misalnya pola hidup dan makan yang sehat, menghindari bahan
karsinogen) dan deteksi dini.
2.
Pencegahan khusus adalah upaya
pencegahan terhadap suatu jenis kanker tertentu misalnya vaksin hepatitis B
untuk mencegah kanker hati; vaksin HPV pada wanita.
(detak, 2007).
2.1.11
Cara Untuk Mendeteksi Kanker Leher Rahim
1.
Kolposkopi
Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan
menggunakan kolposkopi suatu alat yang dapat disampaikan dengan sebuah
mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya didalamnya (pembesaran 6-40
kali). Kolposkopi menilai perubahan pola epitel dan vaskuler serviks yang
mencerminkan perubahan biokimia dan perubahan metabolik yang terjadi di
jaringan serviks. Tujuan pemeriksaan kolposkopi bukan untuk membuat diagnosis
histologik tetapi menentukan kapan dan dimana biopsi harus dilakukan
pemeriksaan kolposkopi dapat mempertinggi ketepatan diagnosis sitologi menjadi
hampir mendekati 100%.
2.
Biopsi
Biopsi dilakukan di daerah abnormal
jika SSK terlihat seluruhnya dengan kolposkopi. Jika SSK tidak terlihat
seluruhnya atau hanya terlihat sebagian sehingga kelainan di dalam kanalis
servikalis tidak dapat dinilai, maka contoh jaringan diambil secara konisasil.
Biopsi harus dilakukan dengan tepat dan alat
biopsi harus tajam sehingga harus diawetkan dalam formula 10%.
3.
Konisasi
Konisasi serviks ialah pengeluaran
sebagian jaringan serviks sedemikian rupa sehingga yang dikeluarkan berbentuk
kerucut (konus), dengan kanalis servikalis sebagai sumber kerucut. Konisasi
diagnostik dilakukan pada keadaan sebagai berikut :
a.
Proses dicurigai berada di
endoserviks.
b.
Lesi tidak tampak seluruhnya
dengan pemeriksaan kolposkopi.
c.
Diagnostik mikroinvasi
ditegakkan atas dasar spesimen biopsi.
d.
Ada kesenjangan
antara hasil sitologi dan histopatologik.
4.
Sitologi
Pemeriksaan ini yang dikenal sebagai
tes papanicolaou (tes pap) sangat bermanfaat untuk mendeteksi lesi secara dini.
Ketelitiannya melebihi 90% sitologi adalah cara skrining sel-sel serviks yang
tampak sehat dan tanpa gejala untuk kemudian diseleksi.
Sediaan sitologi harus meliputi
komponen ekto dan endoserviks. NIS
lebih mungkin terjadi pada SSK sehingga komponen endoserviks menjadi sangat
penting dan harus tampak dalam sediaan. Bila komponen endoserviks saja yang
diperiksa kemungkinan negatif palsu dari NIS
kira-kira 5% (Sjahrul Sjamsuddin, 2001).
2.1.12
Wanita-wanita yang
mempunyai resiko terkena penyakit kanker leher rahim
1.
Wanita menikah ataau melakukan
hubungan seksual pada usia muda (usia kurang dari 17 tahun). Karena wanita muda
memiliki mulut rahim yang belum matang, ketika hubungan seks terjadi gesekan
yang dapat menimbulkan luka kecil, yang dapat mengundang masuknya virus.
2.
Sering berganti-ganti pasangan
seks. Sering ganti pasangan seks dapat membuat wanita dapat menderita infeksi
di daerah kelamin, sehingga dapat mengandung virus HPV dan herpes genitalis.
3.
Wanita yang sering melahirkan.
Resiko ini tidak berdiri sendiri, melainkan dikaitkan dengan trauma persalinan,
perubahan hormonal dan nutrisi selama kehamilan.
4.
Wanita perokok memiliki resiko
dua kali lebih besar dari wanita bukan perokok. Karena rokok akan menghasilkan
zat karsinogen yang menyebabkan turunnya daya tahan lokal di daerah serviks.
(bkkbn,
2008).
2.1.13
Pengobatan Kanker Leher
Rahim
Pengobatan
kanker leher rahim sangat tergantung pada berat ringanya penyakit atau orang
awam mengenalnya sebagai stadium. Pada stadium awal, maka jalan operasi
biasanya menjadi pilihan pertama. Sedangkan stadium awal, maka jalan pengobatan, seperti :
radiasi (penyinaran) dan khemoterapi (pemberian sitostika), dilakukan untuk
kasus yang sudah dalam stadium lanjut (bkkbn, 2008).
2.2
Faktor yang Diteliti
yang Berhubungan dengan Kejadian Kanker Leher Rahim
1.
Umur
Umur
adalah jumlah tahun yang dihabiskan wanita sejak kelahirannya sampai ulang
tahun terakhir (Notoatmodjo, 2005).
Faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya kanker leher rahim menurut Joeharno (2008) adalah ibu yang mempunyai
umur ³ 35 tahun termasuk resiko tinggi,
sedangkan umur ibu kurang dari 35 tahun termasuk resiko rendah.
Insiden
kanker leher rahim meningkat sejak usia 25-34 tahun dan menunjukkan puncaknya
pada usia 35-44 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
dan 45-54 tahun di Indonesia
(Aziz, 2001).
2.
Paritas Ibu
Melahirkan
lebih dari 3 kali menurut hasil riset, angka kejadian kanker leher rahim memang
sebanyak 3 kali pula. Akibatnya banyak mereka yang menderita kanker leher rahim
dari kalangan ini datang dalam staidum yang sudah lanjut dan tidak bisa
disembuhkan lagi (Tapan, 2005).
Menurut
hasil penelitian Joeharno (2008) paritas merupakan faktor risiko terhadap
kejadian kanker leher rahim dengan besar risiko 4,556 kali untuk terkena kanker
leher rahim pada perempuan dengan paritas
>3 dibandingkan dengan paritas £ 3.
2.3
Faktor lain yang tidak
diteliti
1.
Perilaku Seksual
Penelitian
epidemiologi menunjukkan bahwa golongan wanita yang mulai melakukan hubungan
seksual pada usia < 20 tahun atau mempunyai pasangan seksual yang
berganti-ganti berisiko/menderita kanker serviks. Tinjauan kepustakaan mengenai
etiologi kanker leher rahim menunjukkan bahwa faktor resiko lain yang penting
adalah hubungan seksual suami dengan wanita tuna susila (WTS) dan dari sumber
itu membawa penyebab kanker (karsinogen) kepada isterinya.
2.
Kontrasepsi
Kontrasepsi oral yang dipakai
dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun dapat meningkat risiko relatif
1,53 kali. WHO melaporkan risiko relatif pada pemakaian kontrasepsi oral
sebesar 1,19 kali dan meningkat sesuai dengan lamanya pemakaian.
3.
Merokok
Pada wanita perokok konsentrasi
nikotin pada getah serviks 56 kali
lebih tinggi dibandingkan di dalam serum, efek langsung bahan-bahan tersebut
pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi
kokarsinogen infeksi virus.
4.
Nutrisi
Banyak sayur dan buah mengandung
bahan-bahan anti oksidan dan berkhasiat mencegah kanker misalnya advokat,
brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat, dari beberapa
penelitian ternyata defisiensi asam folat, vit. C, vit. E, beta karoten/retinol
dihubungkan dengan peningkatan resiko kanker serviks (Sjahrul Sjamsuddin,
2001).