BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Angka
kematian ibu (AKI) berguna untuk menggambarkan status gizi dan kesehatan ibu,
kondisi kesehatan lingkungan serta tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk
ibu hamil, melahirkan dan nifas. Penyebab tingginya angka kematian ibu juga
dapat disebabkan karena faktor non medis yaitu faktor ekonomi, sosial budaya,
demografi serta faktor agama. Sebagai contoh banyak kaum ibu yang menganggap
kehamilan sebagai peristiwa alamiah biasa, padahal kehamilan merupakan
peristiwa yang luar biasa sehingga perhatian terhadap kesehatan reproduksi dan
pemeriksaan kesehatan selama kehamilan juga menjadi sebab tingginya kematian
ibu selain pelayanan dan akses mendapatkan pelayanan kesehatan yang buruk
(Amiruddin, 2007).
Menurut data World Health Organization (WHO),
sebanyak 99% kematian ibu akibat persalinan terjadi di negara-negara
berkembang. Rasio kematian ibu di negara-negara berkembang
merupakan yang tertinggi dengan 450 kematian ibu di sembilan negara maju dan 51
negara persemakmuran. Selain itu lebih dari 6 juta wanita diseluruh dunia dan
270.000 di USA
mengalami pre-eklampsia setiap tahunnya (WHO, 2007).
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia saat ini masih jauh dari
target yang harus dicapai pada tahun 2015, sesuai dengan kesepakatan sasaran
pembangunan millenium. Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
2002-2003, AKI di Indonesia menunjukkan angka 307/100.000 kelahiran hidup, jauh
di atas target AKI untuk Millenium Development Goal (MDG) yang ditetapkan WHO
sebesar 102/100.000 kelahiran hidup (Depkes
RI , 2007).
Sedikitnya 18.000 ibu meninggal setiap tahunnya di Indonesia
karena kehamilan dan persalinan. Hal itu berarti setiap setengah jam seorang perempuan meninggal karena
kehamilan dan persalinan. Tingginya angka kematian ibu itu menempatkan
Indonesia pada urutan teratas di ASEAN dalam hal tersebut. Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 2001 menyebutkan angka kematian ibu di Indonesia 396/100.000
kelahiran hidup, jumlah itu meningkat dibandingkan dengan hasil survei 1995
yaitu 373/100.000 kelahiran hidup (Siswono, 2003).
Angka kematian ibu di
Indonesia masih sangat tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN. Pada tahun
1994, angka kematian ibu di Indonesia sebesar 390/100.000 kelahiran hidup,
tahun 1995 menurun menjadi 373/100.000 kelahiran hidup (SDKI). AKI di kota
Palembang berdasarkan laporan Indikator Database 2005 UNFPA 6th Country
Programme adalah 317/100.000 kelahiran hidup lebih rendah dari AKI Propinsi
Sumatera Selatan sebesar 467/100.000 kelahiran hidup. Jumlah kematian ibu tahun 2006
di kota Palembang sebanyak 15 orang dengan penyebabnya yaitu Eklampsia 2 orang
(13,3%), HPP 3 orang (20%), Ca pharing 1 orang (6,6%), stroke 1 orang (6,6%),
gagal ginjal 1 orang (6,6%), placenta acreta 1 orang (6,6%), emboli air
ketuban 2 orang (13,3%), post sectio cesarea 1 orang (6,6%), kelainan
jantung 1 orang (6,6%) dan lain-lain 2 orang (13,3%) (Profil Kesehatan Kota
Palembang, 2006).
Dalam pelayanan obstetri,
selain Angka Kematian Maternal (AKM) terdapat Angka Kematian Perinatal (AKP)
yang dapat diasumsikan sebagai perameter keberhasilan pelayanan. Namun,
keberhasilan menurunkan AKM di negara-negara maju saat ini menganggap AKP
merupakan parameter yang lebih baik dan lebih peka untuk menilai kualitas
pelayanan kebidanan. Hal ini mengingat kesehatan dan keselamatan janin dalam
rahim sangat tergantung pada keadaan serta kesempurnaan bekerjanya sistem dalam
tubuh ibu yang mempunyai fungsi untuk menumbuhkan hasil konsepsi dan mudigah
menjadi janin cukup bulan. Salah
satu penyebab kematian perinatal adalah pre-eklampsia dan eklampsia
(Sudhaberata, 2000).
Di Indonesia pre-eklampsia
berat dan eklampsia merupakan penyebab kematian ibu, berkisar 1,5% sampai 25%
sedangkan kematian bayi antara 45% sampai 50%, penyebab kematian ibu adalah
perdarahan otak, payah jantung dan payah ginjal dan aspirasi cairan lambung
atau, edema paru-paru. Sedangkan penyebab kematian bayi adalah asfiksia intra
uterine dan persalinan prematuritas (Manuaba, 1998).
Pre-eklampsia
- eklampsia merupakan kesatuan penyakit yang masih merupakan sebab utama
kematian ibu dan sebab kematian perinatal yang tinggi di Indonesia sehingga diagnosis dini
pre-eklampsia yang merupakan pendahuluan eklampsia serta penatalaksanaannya
harus diperhatikan dengan seksama, pemeriksaan antenatal yang teratur dan
secara rutin mencari tanda pre-eklampsia yaitu hipertensi, edema dan
proteinuria sangat penting dalam usaha pencegahan disamping pengendalian
faktor-faktor predisposisi lainnya (Sudinaya, 2003).
Ada yang melaporkan angka kejadian pre-eklampsia -
eklampsia sebanyak 6% dari seluruh kehamilan dari 12% pada kehamilan
primigravida, menurut beberapa penulis lain dilaporkan sekitar 3-10% lebih
banyak dijumpai pada primigravida dari pada multigravida, terutama primigravida
usia muda. Faktor-faktor predisposisi untuk terjadinya pre-eklampsia adalah
molahidatidosa, diabetes melitus, kehamilan ganda, hidrops fetalis, obesitas
dan umur yang lebih dari 35 tahun (Manuaba, 1998).
Berdasarkan hasil penelitian I Putu Sudinaya di
RSU Tarakan Periode 1 Januari-Desember 2000 dari 1.431 persalinan terdapat 74
kasus pre-eklampsia atau eklampsi (5,1%). Pre-eklampsia 61 kasus (4,2%) dan
eklampsia 13 kasus (0,9%). Kasus pre-eklampsia dan eklampsi terutama dijumpai
pada usia 20-24 tahun dan primigravida (Sudinaya, 2003).
Tingginya kejadian pre-eklampsia-Eklampsia di
negara-negara berkembang, dihubungkan dengan masih rendahnya status sosial
ekonomi dan tingkat pendidikan yang dimiliki kebanyakan masyarakat. Kedua hal
tersebut saling terkait dan sangat berperan dalam menentukan tingkat penyerapan
dan pemahaman terhadap berbagai informasi (Masalah kesehatan yang timbul baik
pada dirinya ataupun untuk lingkungan sekitarnya) (Sudhaberata, 2000).
Berdasarkan hal-hal di atas, penulis tertarik
untuk mengangkat masalah tersebut dalam penelitian yang berjudul ”Hubungan
antara Umur dan Pendidikan Ibu dengan Kejadian Pre-eklampsia Berat Pada Ibu
Bersalin di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007”.
1.2
Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara umur dan
pendidikan ibu dengan kejadian pre-eklampsia berat pada ibu bersalin di Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Untuk
mengetahui hubungan antara umur dan pendidikan ibu dengan kejadian pre-eklampsia berat pada ibu bersalin di Rumah
Sakit Umum Pusat Dr.
Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
1.3.2
Tujuan Khusus
1.
Diketahuinya distribusi
frekuensi umur ibu dengan kejadian pre-eklampsia berat di
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
2.
Diketahuinya distribusi
frekuensi pendidikan ibu dengan kejadian pre-eklampsia berat di Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
3. Diketahuinya hubungan umur ibu dengan
kejadian pre-eklampsia berat di
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
4. Diketahuinya hubungan pendidikan ibu
dengan kejadian pre-eklampsia berat di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Bagi Institusi Kesehatan
(Rumah Sakit)
Hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi rumah sakit setempat dalam
menentukan kebijakan untuk mengembangkan pelayanan kesehatan ibu terutama
terhadap kejadian pre-eklampsia berat.
1.4.2
Bagi Petugas Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi tentang hubungan umur dan pendidikan ibu bersalin
dengan kejadian pre-eklampsia berat.
1.4.3
Bagi Institusi
Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi, pengetahuan dan sumbangan pikiran serta referensi
bagi perpustakaan Akademi Kebidanan Budi Mulia Palembang pada khususnya
mengenai hubungan antara umur dan pendidikan ibu dengan kejadian pre-ekalampsia
berat pada ibu bersalin di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
tahun 2007.
1.4.4
Bagi Penulis
Dengan
melakukan penelitian, peneliti lebih memahami dan mengerti tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pre-eklampsia berat.
1.5
Ruang Lingkup
Pada penelitian ini penulis mencoba
membatasi hanya pada faktor umur dan pendidikan ibu dengan menggunakan metode
survey analitik. Adapun tempat dan waktu penelitian direncanakan di Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang ditahun 2008.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Dasar Pre-Eklampsia Berat
2.1.1 Definisi Pre-Eklampsia
Pre-eklampsia adalah suatu penyakit yang muncul pada
awal kehamilan dan berkembang secara perlahan dan hanya akan menunjukkan gejala
jika kondisi semakin memburuk (Helen Varney, 2007).
Pre-eklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai
proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan (Mansjoer, 2001).
Pre-eklampsia berat adalah penyakit dengan gejala/tanda
hipertensi > 160/110 mmHg disertai dengan
proteinuria dan adanya keluhan sakit kepala, gangguan penglihatan serta adanya
penimbunan cairan di paru-paru yang ditandai dengan sesak napas serta pucat
pada bibir dan telapak tangan akibat kekurangan oksigen (Warta Medika, 2006).
2.1.2 Etiologi Pre-Eklampsia
Apa yang menjadi penyebab pre-eklampsia dan eklampsia
sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Telah terdapat banyak teori yang
mencoba menerangkan sebab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat
memberi jawaban yang memuaskan (Winkjosastro, 2005).
Sampai sekarang etiologi
pre-eklampsia belum diketahui. Membicarakan patofisiologinya tidak lebih dari
”mengumpulkan” temuan-temuan fenomena yang beragam. Namun pengetahuan tentang
temuan yang beragam inilah kunci utama kesuksesan penanganan pre-eklampsia. Sehingga pre-eklampsia atau eklampsia disebut sebagai ”the disease of many theories in obstetrics”.
Adapun faktor predisposisinya
yaitu :
1. Primigravida atau nullipara,
terutama pada umur reproduksi ekstrem, yaitu remaja dan umur 35 tahun ke atas.
2. Multigravida dengan kondisi klinis :
- Kehamilan
ganda dan hidrops fetalis
- Penyakit
vaskuler termasuk hipertensi esensial kronik dan diabetes melitus.
- Penyakit-penyakit
ginjal.
3.
Hiperplasentosis : molahidatidosa, kehamilan ganda,
hidrops fetalis bayi besar.
4. Riwayat keluarga pernah pre-eklampsia atau
eklampsia.
5. Obesitas dan hidramnion.
6. Gizi yang kurang dan anemia.
7.
Kasus-kasus dengan kadar asam urat yang tinggi,
defisiensi kalsium, defisiensi asam lemak tidak jenuh, kurang antioksidans (Hasdiana Hasan, 2008).
2.1.3
Klasifikasi Pre-eklampsia
Pre-eklampsia digolongkan ke dalam pre-eklampsia ringan dan
pre-eklampsia berat dengan gejala dan tanda sebagai berikut :
1.
Pre-eklampsia Ringan
a.
Tekanan darah 140/90 mmHg atau
lebih yang diukur pada posisi berbaring, terlentang atau kenaikan diastolik 15
mmHg atau lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran
sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak pemeriksaan 1 jam.
b.
Edema umum, kaki, jari, tangan
dan muka atau kenaikan berat badan 1 kg atau lebih per minggu.
c.
Proteinuria kuantitatif 0,3 gr
atau lebih per liter, kuantitatif 1 (+1) atau positif 2 (+2) pada urin kateter
atau midstream (Mochtar, 1998).
2.
Pre-eklampsia Berat
a.
Tekanan darah 160/110 mmHg.
b.
Oliguria, urin kurang dari 400
cc/24 jam.
c.
Proteinuria lebih dari 3
gr/liter.
d.
Keluhan subjektif :
1)
Nyeri epigastrium
2)
Gangguan penglihatan
3)
Nyeri kepala
4)
Edema paru dan sianosis
5)
Gangguan kesadaran
(Manuaba, 1998)
2.1.4
Gejala-Gejala Pre-Eklampsia Berat
Pre-eklampsia
berat dapat dikatakan bila ditemukan gejala-gejala sebagai berikut :
1. Tekanan darah sistolik ³ 160 mmHg atau diastolik ³ 110 mmHg.
2. Proteinuria ³ 5 g/24 jam atau ³ 3 pada tes celup.
3. Oliguria (< 400 ml dalam 24 jam).
4. Sakit kepala hebat atau gangguan
penglihatan.
5. Nyeri epigastrium dan ikterus.
6. Edema paru atau sianosis.
7. Trombositopenia.
8. Pertumbuhan janin terhambat.
(Mansjoer, 2001)
2.1.5
Diagnosis Pre-Eklampsia Berat
Kriteria diagnosis
pre-eklampsia ditentukan bila dijumpai satu atau lebih tanda/gejala berikut :
1. Tekanan darah 160/110 mmHg.
2. Proteinuria lebih 5 gram/24 jam atau
kualitatif 3+/4+.
3. Oliguria 500 ml/24 jam.
4. Nyeri kepala frontal atau gangguan
penglihatan.
5. Nyeri epigastrium.
6. Edema paru atau sianosis.
7.
HELLP syndrome (H = Hemolysis,
EL = Elvated Liver Enzymes, LP = Low Platelet Counts).
(Hasdiana Hasan, 2008).
2.1.6 Pemeriksaan Pre-Eklampsia
Berat
1. Kadar enzim hati meningkat disertai
ikterus.
2. Perdarahan pada retina.
3. Trombosit kurang dari 100.000/mm
2.1.7
Penanganan Pre-Eklampsia Berat
1.
Pre-eklampsia berat dengan kehamilan
> 37 minggu
a. Pengobatan medisinalis : Rawat :
1)
Istirahat mutlak/isolasi.
2)
Diet rendah garam.
3)
Suntikan sulfas magnesikus
4)
Loading dose
: 4 g 20% iv. (20% dalam 20 ml) selama 4-5 menit (1 g/menit), dan 8 g 40%
dalam 10 ml im., 4 g di bokong kiri dan 4 g di bokong kanan (sebaiknya dicampur
dengan lidonest untuk mengurangi rasa sakit), yang diteruskan dengan 4 g tiap 4
jam (maintenance dose).
5)
Infus dextrose 5% 1
liter diselingi dengan Ringer laktat 500 ml (2:1).
6) Kateter menetap.
7)
Empat jam setelah pemberian MgSO4 tekanan darah dikontrol,
jika tekanan darah sistolik 180 mmHg atau diastolik 120 mmHg diberikan suntikan
Catapres 1 ampul im. Tekanan darah tidak boleh diturunkan secara drastis,
sebaiknya tekanan diastolik berkisar antara 90-100 mmHg.
8)
Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada
: edema paru gagal jantung kongestif edema anasarka. Syarat pemberian MgSO 4 :
-
Hams tersedia antidotum MgSO 4, yaitu Calcium Gluconas 10% diberikan
iv, pelan-pelan (3 menit).
-
Refleks patella (+) kuat.
-
Frekuensi pernafasan > 16 x/menit.
-
Produksi urine > 100 ml
dalam 4 jam sebelumnya (0,5 ml/ kgbb/jam).
-
Pemberian MgSO 4
sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diuresis.
b. Pengobatan obstetrik :
1)
Belum inpartu :
-
Dilakukan induksi persalinan segera
sesudah pemberian MgSO 4 kedua.
-
Dilakukan amniotomi dan drip oksitosin
dengan syarat : pelvik skor Bishop 5.
-
SC dilakukan bila :
·
Syarat drip tidak dipenuhi.
·
12
jam sejak drip oksitosin anal (belum lahir) Pada primi cenderung SC.
2)
Inpartu :
-
Fase laten : 6 jam tidak masuk fase
aktif, dilakukan SC.
-
Fase aktif :
·
Amniotomi, kalau perlu drip oksitosin.
·
Bila 6 jam pembukaan belum lengkap,
dilakukan SC.
3) Kala II dipercepat, bila syarat partus
pervaginam dipenuhi, dilakukan EV/EF.
4) Persalinan harus sudah selesai kurang dari
12 jam setelah dilakukan amniotomi dan drip oksitosin; jika dalam 6 jam tidak
menunjukkan kemajuan yang nyata, pertimbangkan SC.
5)
Ergometrin tidak boleh diberikan kecuali ada HPP oleh
atonia uteri.
6)
Pemberian MgSO 4 dapat diberikan sampai 24 jam pasca
persalinan kalau tekanan
darah masih tinggi. MgSO 4 dihentikan bila :
-
Ada tanda-tanda intoksikasi.
-
Dalam 8 jam pasca persalinan sudah
normotensif.
Catatan
:
Pemberian
pertama MgSO4 sampai 20 gram (pemberian ke 3) tidak perlu menilai diuresis.
2.
Pre-eklampsia berat dengan kehamilan
< 37 minggu tanpa tanda impending eklampsia
a.
Pengobatan
medisinal
Pemberian MgSO 4 selama 1 x 24 jam dimulai dengan loading dose yang diteruskan dengan suntikan 4 g MgSO 4 tiap 4
jam.
b.
Pengobatan
obstetrik
Kalau setelah 24
jam tidak terjadi perbaikan maka dilakukan terminasi kehamilan. MgSO 4 dihentikan
bila sudah dicapai tanda-tanda pre-eklamsi ringan. Selama perawatan
konservatif, observasi dan evaluasi sama seperti perawatan pre-eklamsia berat
37 minggu, hanya di sini penderita boleh pulang jika selama 3 hari perawatan
tetap dalam keadaan pre-eklampsia ringan (Hasdiana hasan,2008)
2.1.8
Pencegahan Pre-Eklampsia Berat
Untuk mencegah kejadian
pre-eklampsia berat dapat dilakukan nasehat tentang dan bekaitan dengan :
1. Diet Makanan
Makanan
tinggi protein, tinggi karbohidrat, cukup vitamin dan rendah lemak. Kurangi
garam apabila berat badan bertambah atau edema. Makanan berorientasi pada menu
gizi seimbang. Untuk meningkatkan jumlah protein dengan tambahan satu butir
telur setiap hari.
2. Cukup istirahat
Istirahat
yang cukup pada hamil semakin tua dalam arti bekerja sepenuhnya dan disuaikan
dengan kemampuan. Lebih banyak duduk atau berbaring ke arah punggung janin
sehingga aliran darah menuju plasenta tidak mengalami gangguan.
3. Pengawasan antenatal (hamil)
Bila
terjadi perubahan perasaan dan gerak janin dalam rahim segera datang ke tempat
pemeriksaan. Keadaan yang memerlukan perhatian :
a. Uji kemungkinan pre-eklampsia :
-
Pemeriksaan
tekanan darah atau kenaikannya.
-
Pemeriksaan
tinggi fundus uteri.
-
Pemeriksaan
kenaikan berat badan atau edema.
-
Pemeriksaan
protein dalam urin.
-
Kalau
mungkin dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, gambaran darah umum
dan pemeriksaan retina mata.
b. Penilaian kondisi janin dalam rahim
-
Pemantauan
tinggi fundus uteri.
-
Pemeriksaan
janin : gerakan janin dalam rahim, denyut jantung janin, pemantauan air
ketuban.
Dalam
keadaan yang meragukan, maka merujuk penderita merupakan sikap yang terpilih
dan terpuji (Manuaba,1998)
2.1.9
Komplikasi Pre-Eklampsia Berat
Komplikasi yang biasa terjadi
antara lain :
1. Atonia uteri (uterus couvelaire).
2. Sindrom HELLP (Hemplysis, Elvated Liver
Enzymes, Low Platelet Count).
3.
Ablasi retina.
4.
KID (Kongulasi Intravaskuler
Disemanata).
5.
Gagal ginjal.
6.
Pendarahan otak.
7.
Edema paru.
8.
Gagal ginjal.
9.
Syok dan kematian
Komplikasi pada janin berhubungan
dengan akut atau kronisnya insufisiensi uteroplasental, misalnya pertumbuhan
janin terhambat dan prematuritas
(Mansjoer, 2001).
2.1.10
Faktor-Faktor
Predisposisi
Faktor-faktor
yang berperan pada kematian maternal karena eklampsia :
a.
Pengetahuan yang rendah
sehingga seringkali penderita dibawa ke Rumah Sakit sudah dalam keadaan kejang.
b.
Persalinan yang ditolong oleh
dukun menyebabkan penderita eklampsia terabaikan sehingga dirujuk dalam keadaan
gawat.
c.
Transportasi, adanya kendala
transportasi terutama dari daerah terpencil.
d.
Kurangnya kesadaran masyarakat
untuk memeriksakan kehamilannya ke bidan atau ke dokter.
(Sudinaya, 2003).
2.2
Faktor-Faktor yang Behubungan dengan
Pre-Eklampsia Berat
2.2.1
Faktor yang diteliti
1. Umur
Insiden
tinggi ditemukan pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua, pada wanita
hamil berusia kurang dari 25 tahun insiden > 3 kali lipat. Pada wanita hamil lebih dari 35 tahun
dapat terjadi hipertensi laten (Josoprawiro, dkk, 2008).
2. Pendidikan
Dalam
penelitian yang pernah dilakukan Ketut Sudhaberata di RSU Tarakan Makasar di dapat
bahwa dari sampel yang ada, hanya 20,3% yang tidak berpendidikan. Hal ini
berbanding lurus dengan data kunjungan ANC yang didapatkan yaitu 54,8%
melakukan kunjungan ANC sesuai persyaratan minimal, oleh karena itu tingginya
kejadian pre-eklampsia dan Eklampsia di negara-negara berkembang dihubungan
dengan masih rendahnya status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang
dimiliki kebanyakan masyarakat (Sudhaberata, 2000).
2.2.2
Faktor Yang Tidak Diteliti
1.
Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang telah
dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun lahir mati (Amiruddin,
2004).
Untuk paritas, angka kejadian tinggi
pre-eklampsia pada primigravida tua maupun muda sedangkan untuk primigravida
tua mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya pre-eklampsia berat
(Josoprawiro, dkk, 2008).
2.
Molahidatidosa
Pada molahidatidosa diduga degenerasi
trofoblas berlebihan berperan menyebabkan pre-eklampsia. Pada kasus mola,
hipertensi dan proteinuria
terjadi lebih dini atau pada usia kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan
patologi ginjal juga sesuai dengan pre-eklampsia (Josoprawiro, ddk, 2008).
3.
Hipertensi
Tinggi-rendahnya tekanan darah dalam berbagai
referensi digunakan sebagai salah satu indikator tingkat keparahan dari
hipertensi akibat kehamilan, makin tinggi tekanan darah penderita makin parah tingkat hipertensi akibat
kehamilan yang diderita (Hasdiana Hasan, 2008).