HUBUNGAN ANTARA UMUR IBU DAN UMUR KEHAMILAN DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG TAHUN 2007
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) di seluruh dunia terdapat kematian bayi khususnya neonatus sebesar 10.000.000 jiwa/tahun (Manuaba, 1998). Lebih lanjut Komalasari 2004, mengatakan kematian bayi dikenal dengan “Fenomena 2/3”, yaitu 2/3 kematian bayi (umur 0-1 tahun) terjadi pada masa neonatal (bayi baru lahir umur 0-28 hari), 2/3 kematian pada masa neonatal dini terjadi pada hari pertama. Maka satu minggu dari pertama kelahiran adalah masa paling kritis bagi kehidupan seorang bayi.
Di Indonesia sebanyak 100.454 bayi 0-28 hari (neonatal) meninggal setiap tahun. Ini berarti 275 neonatal meninggal setiap hari atau lebih kurang 184 neonatal dini meninggal setiap hari atau setiap 1 jam meninggal 8 bayi neonatal dini atau setiap 7,5 menit meninggal 1 bayi neonatal dini (Komalasari, 2004).
Dari hasil SKRT 2001 kematian neonatal adalah 180 kasus, lahir mati berjumlah 115 kasus, jumlah seluruh kematian bayi adalah 466 kasus. Distribusi kematian neonatal sebagian besar di wilayah Jawa-Bali (66,7%) di daerah pedesaan (56,8%) menurut umur kehamilan (79,4%) dari kematian neonatal terjadi sampai dengan usia 7 hari dan (20,6%) terjadi pada usia 8-28 hari (Sarimawar Djaja, 2001).
Dari hasil studi mortalitas SKRT menunjukkan populasi kematian neonatal sebesar 39% dari seluruh kematian bayi (Sarimawar Djaja, 2001).
Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT 1997) angka kematian bayi 145 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan AKB di Kota Palembang tahun 2004 berdasarkan Laporan Indikator Database 2005 UNFPA 6th Country Programmer adalah 26,68 untuk laki-laki dan 20,02 untuk wanita per 1.000 kelahiran hidup (Dinkes Kota Palembang).
Di Indonesia program kesehatan bayi baru lahir tercakup di dalam program kesehatan ibu. Dalam rencana strategi nasional Making Pregnancy Safer target dari dampak kesehatan untuk bayi baru lahir adalah menurunkan angka kematian neonatal dan 25 per 1.000 kelahiran hidup tahun 1997 menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup. (Sarimawar Djaja, 2001).
Salah satu penyebab kematian bayi adalah asfiksia neonatorum, menurut Manuaba (1998), asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh kehamilan yang kurang bulan yaitu umur kehamilan < 37 minggu atau kelebihan bulan yaitu umur kehamilan > 42 minggu sedangkan menurut Komalasari (2004) asfiksia neonatorum bisa juga disebabkan oleh ibu yang melahirkan dengan resiko pada usia < 20 tahun dan > 35 tahun.
Berdasarkan data dari Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang, pada tahun 2004 63 bayi asfiksia, tahun 2005 80 bayi asfiksia, dan pada tahun 2006 terdapat 143 bayi yang menderita asfiksia (Khotimah, 2006).
Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan antara Umur Ibu dan Umur Kehamilan dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum pada Bayi Baru Lahir di Instalasi Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007”.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara umur ibu dan umur kehamilan dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum pada Bayi Baru Lahir di Instalasi Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara umur ibu dan umur kehamilan dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum pada Bayi Baru Lahir di Instalasi Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya distribusi frekuensi umur ibu di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
2. Diketahuinya distribusi frekuensi umur kehamilan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
3. Diketahuinya distribusi frekuensi kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
4. Diketahuinya hubungan antara umur ibu dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
5. Diketahuinya hubungan antara umur kehamilan dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam menerapkan ilmu yang di dapat selama belajar di pendidikan ke lahan praktek secara nyata.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi (perpustakaan) khususnya bagi mahasiswa akademi kebidanan dan mahasiswa program studi kesehatan lainnya.
1.4.3 Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi tenaga kesehatan agar lebih proaktif dalam memberikan asuhan pada bayi baru lahir dengan asfiksia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asfiksia Neonatorum
2.1.1 Pengertian
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur setelah lahir (Manuaba, 1998).
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah lahir. (Sarwono Prawirohardjo, 2005).
Jika asfiksia berlangsung terlalu lama maka dapat terjadi kerusakan otak, atau kematian, asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. (Saifuddin, 2002).
2.1.2 Etiologi
2.1.2.1 Asfiksia dalam Kehamilan
Dapat disebabkan oleh penyakit infeksi akut atau kronis, keracuanan obat bius uremia dan toksemia gravidarum, anemia berat cacat bawaan atau trauma.
2.1.2.2 Asfiksia dalam Persalinan
Dapat disebabkan oleh partus lama, Servik kaku dan Atonia/Inersia Uteri, Ruptura uteri yang membakat yang mengakibatkan kontraksi terus-menerus dan mengganggu sirkulasi darah ke plasenta, tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta, prolapsus tali pusat yang akan tertekan antara kepala dan panggul, pemberian obat bius yang terlalu banyak misalnya plasenta previa dan solusi plasenta, kalau plasenta sudah tua dapat terjadi postmaturitas (serotinus) disfungsi uri. Dan selanjutnya yaitu paralisis pusat pernafasan akibat trauma dari luar seperti karena tindakan forceps atau trauma dari dalam seperti akibat obat bius. (Mochtar, 1998).
2.1.3 Faktor Predisposisi Asfiksia Neonatorum
Biasanya terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan komplikasi, misalnya diabetes mellitus, pre eklampsia berat, eklampsia, eritroblastosis fetalis, persalinan preterm, persalinan lewat waktu, faktor umur ibu, plasenta previa, solusio plasenta, korioamnionitis, hidramion dan oligohidramnion, gawat janin, serta pemberian obat anestesi atau narkotika sebelum kelahiran (Mansjoer, 2000).
2.1.4 Gambaran Klinis Asfiksia Neonatorum
Ada 2 macam asfiksia, yaitu asfiksia livida (biru) dan asfiksia pallida (putih).
Tabel 2.1
Perbedaan Asfiksia Pallida dan Asfiksia Livida
Perbedaan Asfiksia Pallida Asfiksia Livida
Warna kulit Pucat Kebiru-biruan
Tonus otot Sudah kurang Masih baik
Reaksi rangsangan Negatif Positif
Bunyi jantung Tak teratur Masih teratur
Prognosis Jelek Lebih baik
2.1.5 Diagnosis Asfiksia Neonatorum
2.1.5.1 Denyut jantung apabila kurang dari 1000 x/menit di luar his. Di beberapa klinik, elektro kardiograf janin digunakan terus menerus untuk mengawasi keadaan denyut jantung dalam persalinan.
2.1.5.2 Mekonium dalam air ketuban menandakan bayi pernah atau sedang mengalami proses hipoksia
2.1.5.3 Pemeriksaan pH darah janin yaitu jika nilai pH dalam janin kurang dari 7,2 (Prawirohardjo, 2005).
Tabel 1. Tabel Scorsing APGAR Bayi Baru Lahir
Tanda Angka 0 Angka 1 Angka 2
Frekuensi denyut jantung Tidak ada Di bawah 100 Di atas 100
Upaya respirasi Tidak ada Lambat, tidak teratur Baik, menangis kuat
Tonus otot Lumpuh Fleksi ekstremitas Gerak aktif
Refleks terhadap rangsangan: respons ketika kateter di masukkan lubang hidung Tidak ada respon Menyeringai Batuk atau bersin
Warna Biru-putih Badan merah muda, ekstremitas biru Seluruh tubuh berwarna merah muda
Klasifikasi Klinik Nilai APGAR
1. Berat (Nilai APGAR 0-3)
Memerlukan resusitasi secara aktif dan pemberian oksigen terkendali karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan bikarbonat 7,5% dengan dosis 2,4 ml/kg berat badan, dan cairan glukosa 40% 1-2 ml/kg diberikan melalui vena umbilikus.
2. Asfiksia Sedang (Nilai APGAR 4-6)
Memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas normal kembali.
3. Bayi Normal atau Sedikit Asfiksia (Nilai APGAR 7-9)
4. Bayi Normal dengan Nilai APGAR10 (Mochtar, 1998)
2.1.6 Penatalaksanaan
2.1.6.1 Prinsip Resusitasi
1. Menciptakan lingkungan yang baik pada bayi
2. Mengusahakan bebasnya jalan nafas dan menciptakan pertukaran gas yang adekuat, kalau perlu ventilasi aktif
3. Menjaga agar peredaran darah tetap baik
Cara resisutasi yang dikerjakan pada bayi tergantung dari pada nilai APGAR-nya.
Alat-alat yang harus disiapkan dalam resuisitasi bayi adalah :
1) Alat-alat untuk pemanas bayi, seperti lampu pemanas, botol air panas dan lain-lain
2) Alat penghisap lendir jalan nafas
3) Alat-alat pernafasan buatan
Oksigen, pompa resusitasi, “pharyngeal airway”, laringoskop, kateter endoktrakeal, dan kateter O2.
4) Obat-obatan
Natrium bikarbonat 7,5%, glukosa 40%, vitamin K, antibiotika,
2.1.6.2 Nilai APGAR 7-10
Pada keadaan bayi ini tidak memerlukan tindakan istimewa. Penatalaksanaan terdiri dari
1) Memberikan lingkungan suhu yang baik pada bayi
2) Pembersihan jalan nafas bagian atas dari lendir dan sisa-sisa darah
3) Kalau perlu melakukan rangsangan pada bayi
2.1.6.3 Nilai APGAR 4-6
Bayi kadang-kadang memerlukan resusitasi aktif. Langkah pertama melakukan tindakan seperti pada bayi dengan nilai APGAR 7-10, bila tindakan ini tidak berhasil harus segera dilakukan pernafasan buatan.
1. Pernafasan buatan yang dikerjakan pernafasan kodok (frog breathing). Tindakan dihentikan apabila dalam 1-2 menit tidak didapatkan hasil yang diharapkan.
a. Pernafasan mulut ke mulut atau penggunaan pompa resusitasi, dalam hal ini harus digunakan “pharyngeal airway” agar jalan nafas dapat bebas. Tindakan dinyatakan tidak berhasil apabila setelah dilakukan beberapa saat terjadi penurunan frekuensi jantung atau pemburukan tonus otot.
b. Intubasi endotrakeal dan O2 diberikan melalui kateter endotrakeal dengan tekanan tidak melebihi 30 ml H2O.
2. Pemberian natrium bikarbonat 7,5% dengan dosis 2-4 ml/kg BB bersama-sama dengan glukosa 40% 1-2 ml/kg BB dapat diberikan apabila bayi belum bernafas 3 menit setelah lahir walaupun tindakan-tindakan resusitasi sudah dikerjakan secara adekuat. Kedua obat disuntikkan melalui pembuluh darah umbilikus.
2.1.6.4 Nilai APGAR 0-3
1. Resusitasi harus segera dikerjakan. Pernafasan buatan dilakukan dengan mengerjakan intubasi dan O2 diberikan dengan melalui kateter endotrakeal.
2. Asidosis metabolik yang terjadi diatasi dengan pemberian natrium bikarbonat 7,5% di samping itu diberikan pula glukosa 40% kalau perlu dilakukan juga pijatan jantung dari luar (Kapita Selekta Kedokteran UI, 2001).
2.1.7 Komplikasi Asfiksia
Oedema otak, perdarahan otak, anuria atau oliguria, hiperbilirubinea, enteropolitis, kejang, tindakan bag and mask berlebihan dapat menyebabkan pneomotoraks (Mansjoer, 2000).
2.1.8 Prognosis Asfiksia Neonatorum
Asfiksia livida lebih baik dari asfiksia pallida, prognosis pada kekurangan CO2 dan luasnya pendarahan dalam otak bayi. Bayi yang dalam keadaan asfiksia dan pulih kembali harus dipikirkan kemungkinannya menderita cacat mental seperti epilepsi dan bodoh pada masa mendatang (Mochtar, 1998).
2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Asfiksia Neonatorum yang diteliti
2.2.1 Umur Ibu
Umur Ibu < 20 tahun dan Umur Ibu > 35 tahun
Usia ibu pada saat diadakan penelitian yang umur tersebut merupakan umur yang tidak reproduktif lagi/umur tersebut termasuk faktor resiko tinggi dalam kehamilan (Komalasari, 2004).
Umur pada waktu hamil sangat berpengaruh pada kesiapan ibu untuk menerima tanggung jawab sebagai seorang ibu sehingga kualitas sumber daya manusia makin meningkat dan kesiapan untuk menyehatkan generasi penerus dapat terjamin. Kehamilan di usia muda/remaja (di bawah usia 20 tahun) akan mengakibatkan rasa takut terhadap kehamilan dan persalinan, hal ini dikarenakan pada usia tersebut ibu mungkin belum siap untuk mempunyai anak dan alat-alar reproduksi ibu belum siap untuk hamil. Begitu juga kehamilan di usia tua (di atas 35 tahun) akan menimbulkan kecamasan terhadap kehamilan dan persalinan serta alat-alar reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil (Prawirohardjo, 2005).
2.2.2 Umur Kehamilan
Umur kehamilan adalah batas waktu ibu mengandung dimulai dari hari pertama haid terakhir (HPHT).
a. Umur kehamilan < 37 minggu
Merupakan kehamilan kurang bulan dan biasanya hasil konsepsi dilahirkan dengan berat badan kurang dari 2.499 gram. Resiko pada kehamilan < 37 minggu dapat mengakibatkan terjadinya persalinan dengan tindakan kebidanan misalnya seksio sesarea dengan presentasi bokong/letak sungsang. Resiko pada umur kehamilan < 37 minggu dengan persalinan preterm dapat meningkatkan angka kematian perinatal, begitupun dengan umur kehamilan > 42 minggu dengan induksi persalinan, salah satu komplikasinya adalah asfiksia neonatorum (Manuaba, 1998).
Pada saat pelayanan dengan fasilitas yang optimal, bayi yang lahir dengan berat 2.000 - 2.500 gram mempunyai harapan hidup lebih dari 97%. 1.500 - 2.000 gram lebih dari 90% dan 1.000 - 1.500 gram sebesar 65 - 80% (Mansjoer, 2001).
b. Umur kehamilan > 42 minggu
Kehamilan lewat waktu merupakan kehamilan yang melebihi waktu 42 minggu belum terjadi persalinan. Kehamilan lewat waktu berkisar 10% dengan pariasi 4-15%. Resiko umur kehamilan lewat atau umur kehamilan > 42 minggu dapat mengakibatkan terjadinya persalinan dengan anjuran atau dengan seksio sesarea yaitu penanganannya harus segera dirujuk ke Rumah Sakit. Komplikasi yang sering terjadi yang disebabkan oleh persalinan anjuran atau dengan seksio sesarea salah satunya asfiksia neonatorum, yang juga menyatakan bahwa salah satu komplikasi pada bayi yang disebabkan oleh kehamilan kurang bulan dan kehamilan lewat waktu dengan persalinan tindakan yaitu asfiksia neonatorum, komplikasi pada bayi lainnya antara lain perdarahan intra kranial, infeksi neonatus, gangguan pernafasan karena asfiksia (Manuaba, 1998)
2.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Asfiksia Neonatorum yang tidak diteliti
2.3.1 Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal yaitu segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagain atau seluruh permukaan jalan lahir (Mansjoer, 2001).
Komplikasi plasenta previa yaitu jika perdarahan dalam jumlah besar dapat menimbulkan gangguan pada janin (gerakan makin berkurang) sampai tidak terasa terjadi gangguan kehidupan asfiksia ringan sampai kematian dalam rahim (Manuaba, 1998).
2.3.2 Solusio Plasenta
Solusio plasenta adalah plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada uterus sebelum janin dilahirkan.
Rintangan kejadian asfiksia sampai kematian dalam rahim tergantung pada seberapa bagian plasenta telah lepas dari implantasinya di fundus uteri dan lamanya solusio plasenta itu berlangsung (Manuaba, 1998).
Bila janin dapat diselamatkan, dapat terjadi komplikasi asfiksia berat badan lahir rendah dan sindrom gagal nafas (Mansjoer, 2001).
2.3.3 Preeklampsia Berat
Preeklampsia Berat adalah hipertensi disertai protein uria dan oedema akibat kehamilan setelah kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan (Sudhaberata, 2001).
Kejadian preeklampsia berat berkisar antara 3-5% dari kehamilan yang dirawat (Manuaba, 1998).