BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kualitas
manusianya, untuk menghasilkan manusia berkualitas harus dimulai sedini mungkin
yaitu sejak janin dalam kandungan, agar bayi tersebut lahir dengan selamat,
sehat dan utuh serta sanggup berkembang secara optimal sehingga tercipta suatu
generasi masa depan yang berkualitas. Menurut World Health Organization (WHO)
bahwa terdapat kematian bayi khususnya neonatus sebesar 10.000.000 jiwa per
tahun. Kematian maternal dan bayi tersebut
terjadi terutama di negara berkembang sebesar 99%. (Manuaba, 1998).
Survey WHO (Badan Kesehatan Dunia) 2002 dan 2004
menyebutkan kematian bayi yang baru lahir disebabkan asfiksia (27%), BBLR
(24%), Tetanus (10%), dan sisanya infeksi pendarahan dan masalah asupan (http://www. sinarharapan.co id, 2006).
Seperti yang terjadi di hampir semua negara di dunia,
kesehetan bayi cenderung kurang mendapat perhatian dibandingkan umur-umur
lainnya, padahal data WHO (2002) menunjukkan angka sangat memprihatinkan, yang
dikenal dengan “fenomena 0,67%”, yaitu 0,67% kematian bayi (umur 0-1 tahun)
terjadi pada masa neonatal (bayi baru lahir 0-28 hari), 0,67% kematian pada
masa neonatal dini terjadi pada hari pertama maka 1 minggu pertama dari
kelahiran adalah masa paling kritis bagi kehidupan seorang bayi (www.tokohcybermedia.
com).
Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
2002-2003 angka kematian bayi baru lahir (AKBBL) di Indonesia menunjukkan angka
mencapai 35/1.000 kelahiran hidup atau 2 kali lebih besar dari target WHO
sebesar 15/1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) 2001, penyebab kematian
bayi baru lahir di Indonesia di antaranya asfiksia (27%), BBLR (29%), tetanus neonatorum (10%),
masalah pemberian makanan (10%), gangguan hematologik (6%), infeksi (5%) dan
lain-lain (13%) (http://www.depkes.go.id,
2007).
Hasil survey menunjukkan bahwa penyebab kematian
neonatal di Indonesia adalah asfiksia, infeksi dan BBLR (http://www.dirjen_binkes.co.id, 2005).
Sekitar 24% bayi yang berumur
kurang dari satu bulan meninggal karena menderita asfiksia. Asfiksia adalah
penyebab ketiga kematian bayi setelah prematur dan infeksi di dunia (www.bali post.co.id, 2006).
Angka kematian bayi di
Indonesia menurut hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT 1997) angka
kematian bayi 145/1.000 kelahiran hidup, sedangkan AKB di kota Palembang tahun
2004, berdasarkan laporan indikator database 2005 UNFPA 6th Country
Programme, adalah 26,28% untuk laki-laki dan 20,02% untuk wanita per 1.000
kelahiran hidup (Dinkes kota Palembang, 2006).
Asfiksia neonatorum dapat
disebabkan kekurangan O2, misalnya pada partus lama, ruptura uteri,
tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta, prolapsus, perdarahan
banyak, plasenta sudah tua dan disfungsi uteri (Mochtar, 1998 : 427).
Asfiksia neonatorum biasanya terjadi
pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang mempunyai komplikasi, misalnya diabetes
melitus, pre-eklampsia berat atau eklampsi, kelahiran kurang bulan, kelahiran
lewat waktu, plasenta previa, solusio plasenta (Mansjoer, 2000 : 502).
Jumlah bayi yang asfiksia di
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada tahun 2004 sebanyak
63 bayi, tahun 2005 sebanyak 80 bayi dan
pada tahun 2006 sebanyak 143 bayi yang menderita asfiksia.
Dari
data di atas dapat disimpulkan bahwa angka kematian bayi diakibatkan oleh
asfiksia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kejadian asfiksia dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kekurangan O2, partus lama,
kehamilan post-term, plasenta previa, disfungsi uteri dan lain-lain.
Maka berdasarkan data di atas,
penulis tertarik melakukan penelitian tentang “Hubungan antara Partus Lama dan
kehamilan Post-Term Dengan Kejadian Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir di Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Moehammad Hoesin Palembang tahun 2007”.
1.2
Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan partus lama dan kehamilan post-term dengan
kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehammad Hoesin
Palembang tahun 2007.
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan partus lama dan kehamilan post-term dengan
kejadian asfksia pada bayi baru lahir di Instalasi Rawat Inap Kebidanan di
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehammad Hoesin Palembang tahun 2007.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.
Untuk mengetahui gambaran
distribusi frekuensi partus lama dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir
di Rumah Sakit Umum Pusat
Dr. Moehammad Hoesin Palembang tahun 2007.
2.
Untuk mengetahui gambaran
distribusi frekuensi kehamilan post-term dengan kejadian asfiksia pada bayi
baru lahir di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehammad Hoesin Palembang tahun 2007.
3.
Untuk mengetahui hubungan
partus lama dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Moehammad Hoesin Palembang tahun 2007.
4.
Untuk mengetahui hubungan kehamilan
post-term dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Moehammad
Hoesin Palembang tahun 2007.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Penulis
-
Untuk menambah wawasan,
pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode
penelitian dan teori statistik.
-
Melaksanakan penelitian sebagai
salah satu syarat menyelesaikan pendidikan akhir program D III Kebidanan.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan kepustakaan di Akademi Kebidanan Budi Mulia Palembang
dan untuk bahan penelitian lebih lanjut.
1.4.3 Bagi Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Sebagai bahan informasi dan menjadi masukan Rumah Sakit Umum Pusat
Dr. Moehammad Hoesin Palembang tentang asfiksia pada bayi baru lahir dalam
penyusunan kebijakan pelayanan kesehatan bayi serta gambaran tentang hubungan
antara partus lama dan kehamilan post-term dengan kejadian asfiksia pada bayi
baru lahir di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehammad Hoesin Palembang.
1.5
Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan pada semua ibu yang pernah melahirkan di
Unit Rawat Inap Kebidanan dan Penyakit Kandungan Rumah Sakit Umum Dr. Muhammad Hoesin
Palembang tahun 2007.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Dasar Asfiksia
2.1.1
Definisi
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir
bila dalam satu menit sejak kelahirannya bayi tidak menangis (Manuaba, 2008 :
190). Sehingga dapat menurunkan O2 dan makin meningkatkan
CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (http://www.medlinux.blogspot.com.2007).
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak
dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah bayi baru lahir, yang
disebabkan oleh hipoksia janinm dalam uterus (Wiknjosastro, 2005 : 709).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tak dapat
segera bernafas secara spontan dan
teratur setelah lahir (http://www.dkk.bpp.com.2008).
2.1.2
Etiologi
Hipoksia janin yang
menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan
pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke janin sehingga dapat
gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2.
Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada
ibu selama kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu
dalam persalinan.
Gangguan menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu
yang buruk, penyakit menahuhn seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung, dan
lain-lain. Pada keadaan ini pengaruh terhadap janin disebabkan oleh gangguan
oksigenisasi serta kekurangan pemberian zat-zat makanan berhubungan dengan
gangguan fungsi plasenta. Hal ini dapat dicegah atau dikurangi dengan
pemeriksaan antenatak yang sempurna, sehingga perbaikan sedini-dininya dapat
diusahakan (Wiknjosastro, 2005 : 709).
2.1.3
Patosfisiologi
Pernafasan
spontan bayi baru lahir tergantung pada keadaan janin pada masa hamil dan
persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang
bersifat sementara. Proses ini sangat perlu untuk merangsang hemoreseptor pusat
pernafasan untuk terjadinya spernafasan yang oertama yang kemudian berlanjut
menjadi pernafasan yang taratur. Pada penderita asfiksia berat, usaha nafas ini
tidak nampak dan bayi selanjutnya dalam periode apneu. Pada tingkat ini di
samping penurunan frekuensi denyut jantung (bradikard) ditemukan pula penurunan
tekanan darah dan bayi nampak lemas (flasid).
Pada
asfiksia berat bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukkan
upaya bernafas secara spontan. Pada tingkat pertama gangguan pertukaran
gas/transport O2 (menurunnya tekanan O2 darah)
mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik, tetapi bila gangguan berlanjut
maka akan terjadi metabolisme anaerob dalam tubuh bayi sehingga terjadi
asidosis metabolik, selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler. Asidosis
dan gangguan kardiovaskuler dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel-sel otak,
dimana kerusakkan sel-sel otan ini dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa
(squele) (www.munir.blog-city-com).
2.1.4
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Asfiksia
1.
Faktor Ibu
a.
Gangguan his misalnya hipertoni
dan tetani.
b.
Hipotensi mendadak pada ibu
karena perdarahan misalnmya pada
plasenta previa.
c.
Hipertensi pada eklampsia.
d.
Gangguan mendadak pada plasenta
seperti soluio plasenta.
2.
Faktor Janin
a.
Gangguan aliran darah dalam
tali pusat karena tekanan tali pusat.
b.
Depresi pernapasan karena
obat-obat anastesia/analgetika yang diberikan kepada ibu, perdarahan
intrakranial dan kelainan bawaan.
(Wiknjosastro, 2006 : 710).
2.1.5
Penilaian Asfiksia
Neonatorum pada Bayi Baru Lahir
Penilaian
buruk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh 3 (tiga) tanda-tanda,
terdiri dari; Pernapasan janin, menilai frekuensi, menilai warna kulit
(Saifuddin, 2001 : 348).
Di samping itu penilaian secara APGAR ini juga mempunyai
makna dengan mortalitas dan morbilitas bayi baru lahir, cara ini dianggap
paling ideal dan banyak digunakan dimana-mana.
Tabel 2.1
Nilai APGAR
Gejala
|
0
|
1
|
2
|
Denyut jantung janin
|
Tidak ada
|
< 100
|
> 100
|
Pernapasan
|
Tidak ada
|
lemah, menangis lemah
|
baik, menangis kuat
|
Otot
|
Lemas
|
Refleks lemah
|
Gerak aktif, refleks baik
|
Refleks terhadap rangsangan
|
Tidak ada
|
Menyeringai
|
Menangis
|
Warna kulit
|
Biru/pucat
|
Badan merah/esktremitas pucat
|
Seluruh merah
|
(Manuaba, 2008 :
190)
2.1.6
Klasifikasi Asfiksia
Neonatorum
Asfiksia neonatorum diklasifikasikan sebagai berikut :
1.
Vigorous Baby
Skor
APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
2.
Mild Moderate Asphyxia atau asfiksia sedang
Skor
APGAR 4-6, pada pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih
dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilasi
tidak ada.
3.
Asfiksia berat
Skor
APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100
x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek
iritibilasi tidak ada. Pada asfiksia dengan henti jantung bunyi yaitu bunyi
jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau
bunyi jantung menghilang post partum, pemeriksaan fisik sama pada asfiksia berat.
2.1.7
Diagnosis Asfiksia
Neonatorum
Asfiksia yang terjadi pada biasanya
merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia janin. Diagnosis anoksia/hipoksia janin dapat dibuat
dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin.
Ada tiga hal yang perlu mendapat
perhatian dalam menentukan tanda-tanda gawat janin, yaitu :
1.
Jantung
Frekuensi normal ialah antara 120 dan 160 denyutan
semenit; selama his, frekuensi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi
kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umunya tidak banyak
artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai dibawah 100 semenit di luar
his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal ini merupakan tanda bahaya.
2.
Mekonium dalam lahir air
ketuban
Mekonium pada presentasi-sungsang tidak ada artinya,
akan tetapi pada presentasi-kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi
dan harus menimbulkan kewaspadaaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada
presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal
itu dapat dilakukan dengan mudah.
3.
Pemeriksaan pH dalam darah
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat
serviks dibuatan sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambnil contoh
darah janin. Darah ini diperiksa pHnya, adanya asidosis menyebabkan turunnya
pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda
bahaya oleh beberapa penulis.
Diagnosis gawat janin sangat penting untuk dapat
menyelematkan dan dengan demikian membatasi morbiditas dan mortalitas
perinatal. Selain itu kelahiran bayi yang telah menunjukkan tanda-tanda gawat
janin disertai dengan asfiksia neonatorum, sehingga perlu diadakan persiapan
untuk menghadapi keadaan tersebut. Jika terdapat asfiksia, tingkatnya perlu
dikenal untuk dapat melakukan resusitasi yang sempurna. Untuk hal ini
diperlukan cara penilaian menurun APGAR. Nila APGAR mempunyai hubungan erat
dengan beratnya asfiksia dan biasany dinilai satu menit dan lima menit setelah
setelah bayi lahir (Wiknjosastro, 2005 : 710-711).
2.1.8
Manajemen Terapi
Asfiksia Neonatorum
Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut
resusitasi bayi baru lagir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan
hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Tindakan resusitasi
bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal dengan Airway
Breathing and Circulation (ABC) resusitasi :
A.
Memastikan saluran nafas
terbuka
-
Meletakkan bayi dalam posisi
yang benar
-
Menghisap mulut kemudian hidung
-
Bila perlu masukkan Et untuk
memastikan pernafasan
B.
Memulai pernafasan
-
Lakukan rangsangan taktil
-
Bila perlu lakukan ventilasi
tekanan positif
C.
Mempertahankan sirkulasi darah
Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
kompresi atau bila perlu menggunakan obat-obatan.
Tindakan-tindakan yang dilakukan pada bayi dapat dibagi
dalam 2 golongan :
- Tindakan Umum
Tindakan ini dikerjakan pada setiap bayi tanpa memandang
nilai APGAR. Segera setelah bayi lahir, diusahakan agar bayi mendapat pemanasan
yang baik. Harus dicegah atau dikurangai kehilangan panas dari tubuhnya.
Penggunaan sinar lampu untuk pemanasan luar dan untuk mengeringkan tubuh bayi
mengurangi evaporasi.
Bayi diletakkan dengan kepala lebih rendah dan
penghisapan saluran pernafasan bagian atas segera dilakukan. Hal ini harus
dikerjakan dengan hati-hati untuk menghindarkan timbulnya kerusakan-kerusakan
mukosa jalan nafas, spasmus laring, atau kolaps paru-paru. Bila bayi belum
memperlihat usaha bernafas, rangsangan terhadapnya harus segera dilakukan. Hal
ini dapat berupa rangsangan nyeri dengan cara memukul kedua telapak kaki,
menekan tendon Achilles, atau pada bayi-bayi tertentu diberi suntikan
vitamin K (Wiknjosastro, 2005 : 710-711).
- Tindakan Khusus
a.
Asfiksia Sedang
Stimulasi agar timbul reflek pernafasan dapat dicoba,
bila dalam waktu 30-60 detik timbul pernafasan spontan, ventilasi aktif harus
segera dilakukan, ventilasi sederhana dengan kateter O2 intranasal
dengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam posisi dorsofleksi kepala.
Kemudian dilakukan gerakkan membuka dan menutup nares dan mulut diserta gerakan
dagu ke atas dan kebawah dengan frekuensi 20 kali/menit, sambil diperhatikan
gerakan dinding thoraks dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan gerakan
pernafasan spontan, usahakan mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan
jika hasil tidak dicapai dalam 1-2 menit, sehingga ventilasi paru dengan
tekanan positif secara tidak langsung segera dilakukan, ventilasi dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan dari mulut kemulut atau dari ventilasi
ke kantong masker. Pada ventilasi dari mulut kemulut, sebelumnya mulut penolong
diisi dulu dengan O2, ventilasi dilakukan dengan frekuensi 20-30
kali per menit dan diperhatikan gerakan nafas spontan yang mungkin timbul.
Tindakan dinyatakan tidak berhasil jika setelah dilakukan beberapa saat terjadi
penurunan frekuensi jantung atau perburukan tonus otot, intubasi endotrakheal
harus segera dilakukan, bikarbonas natrikus dan glukosa dapat segera diberikan,
apabila 3 menit setelah lahir tidak memperhatikan pernafasan teratur, meskipun
ventilasi telah dilakukan dengan adekuat.
b.
Asfiksia Berat
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah
utama memperbaiki ventilasi paru dengan pemberian O2 dengan tekanan
dan intermiten, cara terbaik dengan intubasi endotrakheal lalu diberikan O2
tidak lebih dari 30 mmHg. Asfiksia berat hampir selalu disertai asidosis,
koreksi dengan bikarbonas natrium 2-4 mEq/kgBB, diberikan pula glukosa 15-20%
dengan dosis 2-4 ml/kgBB. Kedua obat ini disuntikan ke dalam intravena perlahan
melalui vena umbilikalis, reaksi obat ini akan terlihat jelas jika ventilasi
paru sedikit banyak telah berlangsung. Usahakan pernafasan biasanya mulai
timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3 kali, bila setelah 3 kali inflasi
tidak didapatkan perbaikan pernafasan atau frekuensi jantung, maka masase
jantung eksternal dikerjakan dengan frekuensi 80-100/menit. Tindakan ini
diselingi ventilasi dengan tekanan dalam perbandingan 1:3 yaitu setiap kali
satu ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding toraks, jika
tindakan ini tidak berhasil bayi harus dinilai kembali, mungkin hal ini disebabkan
oleh ketidakseimbangan asam dan basa yang belum dikoreksi atau gangguan organik
seperti hernia diafragmatika atau stenosis jalan
nafas (www.munir.blog-city.com,2005).
2.1.9
Peran Bidan Dalam
Menghadapi Asfiksia Neonatorum
1.
Tindakan Pertolongan Umum
neonatus
-
Kepala bayi diletak pada posisi
yang lebih rendah
-
Bersihkan jalan napas dari
lendir; mulut dan tenggorokan, saluran napas bagian atas.
-
Mengurangi kehilangan panas
badan bayi dengan membungkus dan memandingkan dengan air hangat.
-
Memberikan rangsangan menangis.
-
Dalam ruang gawat darurat bayi
selalu tersedia; penghisap lendir bayi dan O2 dan maskernya.
2.
Tindakan khusus asfiksia
neonatorum
Menghadapi asfiksia neonatorum memang diperlukan
tindakan spesialistis, sehingga diharapkan bidan dapat segera melakukan rujukan
medis ke rumah sakit melakukan pertolongan persalinan dengan resiko rendah di
daerah pedesaan sebagian besar berlangsung dengan aman dan baik. Penilaian bayi
baru lahir dilakukan dengan mempergunakan sistem APGAR.
Berdasarkan kriteria nilai APGAR, bidan dapat melakukan
penilaian untuk mengambil tindakan yang tepat diantaranya melakukan rujukan
medis sehingga keselamatan bayi dapat ditingkatkan (Manuaba, 1998 : 320).
2.2
Faktor-faktor yang
Berhubungan Dengan Asfiksia Neonatorum
2.2.1
Partus Lama
Partus
lama adalah persalinan yang berlangsung dari 24 jam pada primi, dan lebih dari
18 jam pada multi (Wiknjosastro, 2005 : 317).
Menurut Harjono adalah merupakan fase terakhir dari
suatu partus yang macet dan berlangsung lama sehingga timbul gejala-gejala
seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu, serta asfiksia dan kematian janin
dalam kandungan (KJDK).
Pada umumnya batas-batas normal persalinan adalah :
Primi Multi
Kala I 13
jam 7 jam
Kala II 1
jam ½ jam
Kala III ½ jam ¼ jam
Lama persalinan 14½
jam 7 ¾ jam
Persalinan pada primi biasanya lebih 5-6 jam daripada
multi. Bila persalinan berlangsung lama, dapat menimbulkan
komplikasi-komplikasi baik terhadap ibu maupun terhadap anak dan dapat
meningkatkan angka kematian ibu dan anak (Mochtar, 1998 : 384-385).
2.2.2
Kehamilan Post-term
Kehamilan post-term kehamilan yang melewati 294 hari
atau lebih dari 42 minggu. Kejadian kehamilan post-term kira-kira 10%,
bervariasi antara 3,5-14%. Kekhawatiran dalam menghadapi kehamilan post-term
ialah meningkatnya resiko kesakitan dan kematian perinatal. Resiko kematian
perinatal kehamilan post-term dapat menjadi 3 kali dibandingkan kehamilan
aterm. Kehamilan post-term terjadi pada 30% sebelum persalinan, 55% dalam
persalinan dan 15% post-natal (Wiknjosastro, 2005 : 317-320).
Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 dari
hari pertama haid terakhir. Bila seorang wanita melahirkan pada usia kehamilan
antara 20-28 minggu, persalinan tersebut disebut persalinan immaturus. Sementara
itu, persalinan antara usia kehamilan 28-30 minggu disebut persalinan
prematurus. Kehamilan aterm ialah usia kehamilan 38-42 minggu dan ini merupakan
periode terjadinya persalinan normal (http://www.balipost.co.id,
2006).
Permasalahan yang terjadi pada kehamilan lewat waktu
adalah plasenta yang tidak sanggup memberikan nutrisi dan pertukaran CO2
sehingga janin mempunyai resiko asfiksia sampai kematian dalam rahim. Makin
menurunnya sirkulasi darah menuju sirkulasi plasenta dapat mengakibatkan pertumbuhan
janin makin lambat, terjadinya metabolisme janin, air ketuban makin kental,
berkurangnya nutrisi O2 ke janin yang menimbulkan asfiksia dan
setiap saat dapat meninggal dalam rahim, saat persalinan janin lebih mudah
mengalami asfiksia (Manuaba, 1998 : 222-223).
2.2.3
Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal,
yaitu pada segemn bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir (Mansjoer, 2000). Gejala perdarahan awal plasenta previa
pada umumnnya hanya berupa perdarahan bercak atau ringan dan umumnya berhenti secara spontan. Gejala
tersebut kadang-kadang terjadi pada waktu bangun tidur. Tidak jarang perdarahan
pervaginam baru terjadi pada saat inpartu. Jumlah perdarahan yang terjadi
sangat tergantung dari jenis plasenta previa (Saifuddin, 2002 : 162)
2.2.4
Pre-Eklampsia Berat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sudhaberata
di bagian kebidanan dan penyakit kandungan rumah sakit umum Tarakan, Kalimantan
Timur 1 Januari 1996 sampai 31 Desember 1998 yang menunjukkan bahwa komplikasi
yang sering ditemukan pre-eklampsia berat antara lain kejadian asfiksia
neonatorum pada bayi baru lahir sebesar 34% (http://www.tempo.co
id).
2.2.5
Solusio Plasenta
Solusio plasenta ialah terlepasnya plasenta dari tempat
implantasinya yang normal pada uterus, sebelumnya janin dilahirkan. Definisi
ini berlaku pada kehamilan dengan masa gestasi diatas 22 minggu atau berat
janin diatas 500 gram. Proses solusio plasenta dimulai dengan terjadinya
perdarahan dalam desidua basalis yang menyebabkan hematoma
retraplasenter (Saifuddin, 2002 : 166).
2.2.6
Persalinan Preterm
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi di
bawah umur kehamilan 37 minggu dengan perkiraan janin kurang dari 2.500 gram.
Risiko pada persalinan preterm adalah tingginya angka kematian perinatal yang
disebabkan karena Hyalin Membrane Disease, dan penyulit yang dihadapi
antara lain kejadian asfiksia neonatorum (Manuaba, 1998), yang disebabkan
karena pemasokan oksigen dan makanan atau nutrisi yang kurang adekuat dari plasenta
ke janin pada kehamilan (Wiknjosastro, 2006).
2.3
Peranan Bidan
2.3.1
Definisi Bidan
Menurut,
definisi bidan adalah seorang wanita yang telah mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan bidan yang telah diakui pemerintah dan lolos ujian sesuai dengan
persyaratan yang berlaku, dicatat (register), diberi izin secara syah untuk
menjalankan praktek.
2.3.2
Peran dan Fungsi Bidan
Menurut
Wahyuningsih (2006), peran dan fungsi bidan sebagai berikut :
a.
Peran Sebagai Pelaksana
1)
Tugas Mandiri
·
Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan
kebidanan
·
Memberikan pelayanan dasar pada anak remaja dan
wanita pra nikah dengan melibatkan klien
·
Memberikan asuhan kebidanan pada klien selama
kehamilan normal
·
Memberikan asuhan kebidanan pada klien dalam masa
persalinan dengan melibatkan klien/keluarga
·
Memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir
·
Memberikan asuhan kebidanan pada klien dalam masa
nifas dengan melibatkan klien/keluarga pada wanita usia subur
·
Memberikan asuhan kebidanan pada yang membutuhkan
pelayanan keluarga berencana
·
Memberikan asuhan kebidanan pada wanita gangguan
sistem reproduksi dan wanita dalam masa kilakterium dan menopause
·
Memberikan asuhan kebidanan pada bayi balita dengan
melibatkan keluarga
2)
Tugas Kolaborasi/Kerjasama
·
Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan
kebidanan sesuai fungsi kolaborasi
·
Memberikan asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan
resiko tinggi dan pertolongan pertama pada kegawatan.
3)
Tugas Ketergantungan/Merujuk
·
Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan
kebidanan sesuai dengan fungsi keterlibatan klien dan keluarga.
·
Memberikan asuhan kebidanan melalui konsultasi dan
rujukan pada ibu hamil dengan resiko tinggi dan kegawatdaruratan
b.
Peran Sebagai Pengelola
-
Mengembangkan pelayanan dasar kesehatan terutama
pelayanan kebidanan kepada individu, keluarga, kelompok khusus dan masyarakat
di wilayah kerja dengan melibatkan masyarakat/klien.
-
Berpartisipasi dalam tim untuk melaksanakan program
kesehatan dan sektor lain di wilayah kerjanya
c.
Peran sebagai Pendidik
-
Memberikan pendidikan dan penyuluhan kesehatan
kepada individu keluarga, kelompok dan masyarakat tentang penanggulangan
masalah kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan ibu anak dan
keluarga berencana.
-
Melatih dan membimbing kader, siswa bidan dan
keperawatan serta membina dukun di wilayah kerja
d.
Peran sebagai Peneliti/Investigator
Melakukan
investigasi atau penelitian terapan dalam bidang kesehatan baik secara mandiri
maupun secara kelompok