BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) berguna untuk menggambarkan status gizi dan
kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan serta tingkat pelayanan kesehatan
terutama untuk ibu hamil, melahirkan dan nifas. Penyebab tingginya angka kematian
ibu juga dapat disebabkan karena faktor non medis yaitu faktor ekonomi, sosial
budaya, demografi serta faktor agama. Sebagai contoh banyak kaum ibu yang
menganggap kehamilan sebagai peristiwa alamiah biasa, padahal kehamilan
merupakan peristiwa yang luar biasa sehingga perhatian terhadap kesehatan
reproduksi dan pemeriksaan kesehatan selama kehamilan juga menjadi sebab
tingginya kematian ibu selain pelayanan dan akses mendapatkan pelayanan
kesehatan yang buruk (Amiruddin, 2007).
Berdasarkan penelitian World Health Organization (WHO) di seluruh dunia terdapat kematian ibu sebesar 500.000 jiwa per
tahun. Angka kematian ibu pada tahun 2003 tercatat 95 per 100.000
kelahiran hidup di negara anggota ASEAN lainnya seperti Malaysia tercatat 30
per 100.000 kelahiran hidup dan Singapura 6 per 100.000 kelahiran hidup (Hamonangan,
2007).
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia
masih sangat tinggi. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun
1994 AKI di Indonesia adalah 390 per 100.000 kelahiran hidup. Penurunan AKI
tersebut sangat lambat yaitu menjadi 334 per 100.000, pada tahun 2001 angka
kematian ibu di Indonesia 396 per 100.000 kelahiran hidup dan pada tahun
2002-2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu di Indonesia
tahun 2005 adalah 262 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara pada tahun 2010
ditargetkan menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup (Azwar, 2005).
Berdasarkan data dari Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Harni
Kusno, jumlah angka kematian ibu mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup dan
angka kematian bayi mencapai 35 per 1.000 kelahiran hidup. Data IBI menyebutkan
bahwa penyebab langsung AKI diantaranya perdarahan sebanyak 30% dari total
kasus kematian, Pre-eklampsia atau eklampsia (keracunan kehamilan) 25%, infeksi
12%, abortus 5%, partus lama 5%, emboli obstetri
3%, komplikasi masa nifas 8%, dan penyebab lain-lain 12% (Siswono, 2005).
Jumlah penyebab kematian ibu di Sumatera Selatan pada tahun 2004
adalah Pre-eklampsia atau eklampsia 8,33% dan penyebab lain sebanyak 9%. Pada
tahun 2005 penyebab kematian ibu eklampsia 25,5% dan penyebab lain sebanyak
21,6%. Sedangkan pada tahun 2006 jumlah kematian ibu disebabkan eklampsia 13,3%
dan penyebab lain 39,7% (Dinkes Sumsel, 2006).
Di Indonesia
pre-eklampsia - eklampsia merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal
dan kematian perinatal. Oleh karena itu diagnosis dini pre-eklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta
penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan Angka Kematian
Ibu (AKI) dan anak. Perlu ditekankan bahwa sering tidak diketahui atau tidak
diperhatikan pemeriksaan antenatal yang teratur secara rutin mencari tanda
pre-eklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan pre-eklampsia berat dan
eklampsia disamping pengendalian terhadap faktor-faktor predisposisi yang lain
(Sudhaberata, 2007).
Pre-eklampsia
merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi terjadi setelah minggu ke-20
pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal. Pre-eklampsia
merupakan penyakit vasospatik, yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh
hemokosentrasi, hipertensi dan proterinuria (Jensen, dkk, 2005).
Pre-eklampsia berat adalah suatu komplikasi kesimpulan
yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/100 mmHg atau lebih disertai proteinuria
dan atau oedema pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Tjandra, 2006).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Palembang, kejadian pre-eklampsia berat terjadi pada tahun 2005 yaitu 203 orang
penderita dari 1.710 pasien ibu bersalin (11,9%), pada tahun 2006 yaitu 272 orang
penderita dari 2.578 pasien ibu bersalin (10,5%). Sedangkan pada tahun 2007 yaitu 243
orang penderita dari 2.463 pasien
ibu bersalin (9,9%) di Kebidanan RSMH Palembang (Medical Record RSMH Palembang, 2008).
Tingginya kejadian
pre-eklampsia - eklampsia di negara-negara berkembang, dihubungkan dengan masih rendahnya status sosial
ekonomi dan tingkat pendidikan yang dimiliki kebanyakan masyarakat. Kedua hal
tersebut saling terkait dan sangat berperan dalam menentukan tingkat penyerapan
dan pemahaman terhadap berbagai informasi (masalah kesehatan yang timbul baik
pada dirinya ataupun untuk lingkungan sekitarnya) (Sudhaberata, 2007).
Distribusi kejadian pre-eklampsia berdasarkan umur banyak ditemukan
pada kelompok umur ibu yang resiko, yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih
dari 35 tahun. Kejadian
pre-eklampsia terbanyak didapatkan pada kelompok umur 20-35 tahun (Sudhaberata, 2007).
Dari data di atas maka penulis tertarik untuk meneliti
“Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pre-Eklampsia Berat pada Ibu
Bersalin di IRNA Kebidanan dan Penyakit
Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun
2008”.
1.2
Rumusan Masalah
Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian pre-eklampsia
berat pada Ibu Bersalin di IRNA Kebidanan dan Penyakit Kandungan Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2008?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pre-eklampsia
berat pada Ibu Bersalin di IRNA Kebidanan dan Penyakit Kandungan Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2008.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya
distribusi frekuensi pendidikan ibu yang dirawat di
IRNA Kebidanan dan Penyakit Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
tahun 2008.
2. Diketahuinya
distribusi frekuensi pekerjaan ibu yang dirawat di IRNA
Kebidanan dan Penyakit Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
tahun 2008.
3. Diketahuinya
distribusi
frekuensi umur ibu yang dirawat di IRNA Kebidanan dan Penyakit Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun
2008.
4. Diketahuinya
distribusi
frekuensi pre-eklampsia berat yang dirawat di
IRNA Kebidanan dan Penyakit Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin Palembang tahun 2008.
5. Diketahuinya
hubungan
antara pendidikan dengan kejadian
pre-eklampsia berat di IRNA Kebidanan dan Penyakit
Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2008.
6. Diketahuinya
hubungan
antara pekerjaan dengan kejadian
pre-eklampsia berat di IRNA Kebidanan dan Penyakit
Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2008.
7. Diketahuinya
hubungan
antara umur dengan kejadian
pre-eklampsia berat di IRNA Kebidanan dan Penyakit
Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2008.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai umpan balik dalam proses belajar
mengajar sehingga dapat menunjang pengetahuan dan wawasan peserta didik serta
dapat dilakukan penelitian lebih lanjut.
1.4.2
Bagi Peneliti
Dengan melaksanakan
penelitian ini, didapatkan satu pengalaman dan ilmu pengetahuan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pre-eklampsia berat, serta menambah wawasan tentang pemahaman dalam
metode penelitian dan menerapkannya secara langsung.
1.4.3
Bagi Institusi Rumah Sakit
Diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan
sebagai masukan bagi petugas kesehatan
khususnya di Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang mengenai kejadian
pre-eklampsia berat dan juga sebagai bahan evaluasi keberhasilan dalam
pelayanan kesehatan.
1.5
Ruang Lingkup
Ruang lingkup
penelitian ini adalah yang ada di IRNA Kebidanan dan Penyakit Kandungan di
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2008.
Penelitian ini
mengambil variabel pendidikan, pekerjaan dan umur, karena berdasarkan pengamatan
faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi kejadian pre-eklampsia berat. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu melalui Survei Analitik dengan pendekatan Cross Sectional yang menggunakan data sekunder.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep
Dasar Pre - Eklampsia Berat
2.1.1 Defenisi Pre
- Eklampsia Berat
Pre-eklampsia adalah
timbulnya hipertensi dalam kehamilan disertai proteinuria setelah usia gestasi
20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum usia
kehamilan 20 minggu pada penyakit trofoblast (Medzone, 2008).
Pre-eklampsia adalah
komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi > 160 / 110
mmHg disertai dengan proteinurie dan oedema pada kehamilan 20 minggu atau
lebih (Prawirohardjo, 2002).
Pre-eklampsia berat adalah suatu komplikasi
kesimpulan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/100 mmHg atau lebih
disertai proteinuria dan atau oedema pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Tjandra, 2006).
Pre-eklampsia berat
adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya tekanan darah
tinggi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria atau edema pada kehamilan
20 minggu atau lebih (Menuju Indonesia Sehat, 2008).
2.1.2 Etiologi
Apa yang menjadi penyebab pre -
eklampsia dan eklampsia sampai
sekarang belum diketahui. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan
sebab musabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi
jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal‑hal
berikut :
1.
Sebab bertambahnya frekuensi pada primigraviditas, kehamilan ganda, hidramnion dan mola hidatidosa.
2.
Sebab bertambahnya frekuensi dengan makin
tuanya kehamilan.
3.
Sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan
penderita dengan kematian janin dalam uterus.
4.
Sebab jarangnya terjadi eklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya
5.
Sebab timbulnya hipertensi, oedema, proteinuria, kejang dan koma.
(Medzone,
2008)
2.1.3 Klasifikasi Pre-Eklampsia
Menurut Rahmat (2006), Pre-eklampsia digolongkan ke dalam pre-eklampsia
ringan dan pre-eklampsia berat dengan gejala dan tanda sebagai berikut :
1.
Pre-eklampsia Ringan
a.
Tekanan darah sistolik 140 atau
kenaikan 30 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam.
b.
Tekanan darah diastole 90 atau
kenaikan 15 mmHg dengan interval perkiraan jam.
c.
Kenaikan berat badan 1 kg atau
lebih dalam satu minggu.
d.
Proteinuria kuantitatif 0,3 gr atau
lebih dengan tingkat kuantitatif plus 1 sampai 2 urin kateter atau
urine aliran pertengahan.
2.
Pre-eklampsia Berat
Bila tanda salah satu diantara gejala ditemukan dalam
ibu hamil sudah dapat digolongkan pre-eklampsia berat :
a.
Tekanan darah 160/110 mmHg
b.
Oliguria, urin kurang dari 400
cc/24 jam
c.
Proteinuria lebih dari tiga
gram/liter
d.
Keluhan subjektif :
1)
Nyeri epigastrium
2)
Gangguan penglihatan
3)
Nyeri kepala
4)
Oedema paru dan sianosis
5)
Gangguan kesadaran
e.
Pemeriksaan :
1)
Kadar enzim meningkat disertai
ikterus
2)
Perdarahan pada retina
3)
Trombosit kurang dari 100.000/mm
2.1.4 Diagnosis
Pre-eklampsia Berat (PEB) bila memenuhi kriteria-kriteria di
bawah ini :
1.
Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau
diastolik ≥ 110 mmHg atau kenaikan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15
mmHg.
2.
Proteinuria ≥ 5 gram/24 jam atau ≥ 3 + dalam
pemeriksaan kualitatif.
3.
Oliguria > 400 cc/jam.
4.
Sakit kepala hebat dan gangguan penglihatan.
5.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran
kanan abdomen.
6.
Oedema paru dan sianosis.
7.
Adanya HELLP Syndrome.
8.
Pertumbuhan janin terhambat.
(Medzone, 2008)
2.1.5 Penanganan Umum
Menurut Saifuddin (2006), penatalaksanaan
pre-eklampsia berat terdiri dari :
1.
Jika tekanan diastolik > 110
mmHg, berikan antihipertensi, sampai tekanan diastolik di antara 90 - 100 mmHg.
2.
Pasang infus dengan jarum besar (16
gauge atau >).
3.
Ukur keseimbangan cairan, jangan
sampai terjadi overload.
4.
Kateterisasi urin untuk memantau
pengeluaran urin dan proteinuria.
5.
Jika jumlah urine < 30 ml/jam :
a.
Infus cairan dipertahankan 1 1/8
jam.
b.
Pantau kemungkinan oedema paru.
6.
Jangan tinggalkan pasien sendirian.
Kejang disertai aspirasi muntah dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
7.
Observasi
tanda-tanda vital, refleks dan denyut jantung janin setiap jam.
8.
Auskultasi paru untuk mencari
tanda-tanda oedema paru.
9.
Krepitasi merupakan tanda oedema
paru, jika ada oedema paru stop pemberian cairan dan berikan diuretik misalnya
furosemik 40 mg IV.
10. Nilai
pembekuan darah dengan uji pembekuan sederhana jika pembukaan tidak terjadi
sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati.
Pengobatan medisinal pasien
pre-eklampsia berat menurut Tjandra (2006) yaitu :
1.
Segera
masuk rumah sakit.
2.
Tirah
baring miring ke satu sisi. Tanda vital diperiksa setiap 30 menit, refleks
patella setiap jam.
3.
Infus
dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus RL (60-125 cc/jam) 500
cc.
4.
Antasida
5.
Diet
cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
6.
Pemberian
obat anti kejang : magnesium sulfat
Cara pemberian magnesium sulfat :
a.
Dosis
awal sekitar 4 gram MgsO4 IV (20% dalam 20 cc) selama 1 gr/menit kemasan 20%
dalam 25 cc larutan MgSO4 (dalam 3-5 menit). Diikuti segera 4 gram dibokong
kiri dan 4 gram dibokong kanan (40% dalam 10 cc) dengan jarum no. 21
panjang 3,7 cm. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan 1 cc xylocain 2% yang
tidak mengandung adrenalin pada suntikan IM.
b.
Dosis ulangan : diberikan 4 gram
intramuskuler 40% setelah 6 jam pemberian dosis awal lalu dosis ulangan
diberikan 4 gram IM setiap 6 jam dimana pemberian MgSO4 tidak melebihi 2-3
hari.
c.
Syarat-syarat pemberian MgSO4 :
-
Tersedia antidotum MgSO4 yaitu
calcium gluconas 10%, 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan intravenous dalam 3
menit.
-
Refleks patella positif kuat.
-
Frekuensi pernapasan lebih 16 kali
per menit.
-
Produksi urin
lebih 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam).
d.
MgSO4 dihentikan bila :
-
Ada tanda-tanda keracunan yaitu
kelemahan otot, hipotensi, refleks fisiologis menurun, fungsi jantung
terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian
karena kelumpuhan otot-otot pernapasan, karena ada serum 10 U magnesium pada
dosis adekuat adalah 4-7 mEq/liter. Refleks fisiologis menghilang pada kadar
8-10 mEq/liter. Kadar 12-15 mEq terjadi kelumpuhan otot-otot pernapasan dan
lebih 15 mEq/liter terjadi kematian jantung.
-
Bila timbul tanda-tanda keracunan
magnesium sulfat :
·
Hentikan pemberian magnesium
sulfat.
·
Berikan calcium gluconase 10% 1
gram (10% dalam 10 cc) secara IV dalam waktu 3 menit.
·
Berikan oksigen.
·
Lakukan pernapasan buatan.
-
Magnesium sulfat dihentikan juga
bila setelah 4 jam pasca persalinan sudah terjadi perbaikan (normotensif).
7.
Diuretikum
tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung
kongestif atau edema anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40 mg/im.
8.
Antihipertensi
diberikan bila :
a.
Tekanan
darah sistolis lebih dari 180 mmHg, diastolis lebih dari 110 mmHg atau MAP
lebih dari 125 mmHg. Sasaran pengobatan adalah tekanan diastolis kurang dari
105 mmHg (bukan kurang dari 90 mmHg) karena akan menurunkan perfusi plasenta.
b.
Dosis
antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi pada umumnya.
c.
Bila
dibutuhkan penurunan tekanan darah secepatnya dapat diberikan obat-obat
antihipertensi parenteral (tetesan kontinyu), catapres injeksi. Dosis yang
biasa dipakai 5 ampul dalam 500 cc cairan infus atau press disesuaikan dengan
tekanan darah.
d.
Bila
tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat diberikan tablet antihipertensi
secara sublingual diulang selang 1 jam, maksimal 4-5 kali. Bersama dengan awal
pemberian sublingual maka obat yang sama mulai diberikan secara oral.
9.
Kardiotonika
Indikasi bila ada tanda-tanda
menjurus payah jantung, diberikan digitalisasi cepat dengan cedilanid D.
10.
Lain-lain
:
a.
Konsul
bagian penyakit dalam/jantung, mata
b.
Obat-obat
antipiretik diberikan bila suhu rektal lebih 38,5 derajat celcius dapat dibantu
dengan pemberian kompres dingin atau alkohol 2 cc IM.
c.
Antibiotik
diberikan atas indikasi. Berikan ampicillin 1 gr/6 jam/IV/hari.
d.
Anti
nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus. Dapat
diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2 jam sebelum janin lahir.
2.1.6
Penilaian
Klinik
(Saifuddin, 2006)
2.1.7 Pencegahan
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan
tanda-tanda dini pre-eklampsia dan dalam hal itu harus dilakukan penanganan
sementara. Kita perlu lebih waspada akan timbulnya pre-eklampsia dengan adanya
faktor-faktor predisposisi (Wiknjosastro, 2005).
Menurut Amiruddin (2007), ada
beberapa cara pencegahan pre-eklampsia berat yaitu :
1.
Pemeriksaan
antenatal yang teratur dan bermutu serta teliti, mengenali tanda-tanda sedini
mungkin (pre-eklampsia ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya
penyakit tidak menjadi lebih berat.
2.
Harus
selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklampsia kalau ada
faktor-faktor predisposisi.
3.
Informasi
tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak
selalu berarti berbaring di tempat tidur, namun pekerjaan sehari-hari perlu
dikurangi dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein,
dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak
berlebihan perlu dianjurkan.
4.
Mencari
pada setiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya segera
apabila ditemukan.
5.
Mengakhiri
kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila setelah
dirawat tanda-tanda pre-eklampsia tidak juga dapat dihilangkan.
2.1.8 Faktor Predisposisi
Menurut Sudinaya (2003), faktor-faktor presdiposisi yang berperan dalam
kematian maternal karena eklampsia, antara lain :
1.
Pengetahuan yang rendah sehingga sering kali
penderita dibawa ke rumah sakit dalam keadaan kejang.
2.
Persalinan yang ditolong oleh dukun
menyebabkan penderita eklampsia terabaikan sehingga dirujuk dalam keadaan gawat.
3.
Adanya kendala transportasi terutama daerah
terpencil.
4.
Kurangnya kesadaran masyarakat untuk
memeriksakan kehamilanya ke bidan atau ke dokter.
2.2
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pre-eklampsia Berat
yang Diteliti
2.2.1 Pendidikan
Pendidikan adalah
jenjang pendidikan formal yang pernah diikuti oleh ibu. (Muhammad Ali, 2003).
Tingginya kejadian Pre-eklampsia - eklampsia di
negara-negara berkembang dihubungkan dengan masalah
rendahnya status ekonomi dan tingkat pendidikan yang dimiliki kebanyakan
masyarakat. Kedua hal tersebut saling terkait
dan sangat berperan dalam menentukan tingkat penyerapan dan pemahaman
terhadap berbagai informasi atau masalah kesehatan yang timbul baik pada
dirinya ataupun untuk lingkungan sekitarnya (Sudhaberata, 2007).
Menurut
penelitian yang dilakukan di RSU Tarakan, kejadian pre-eklampsia berat sebesar
3,26% (110 kasus). Dari 3.270 persalinan dengan status pendidikan dari SD
sampai dengan perguruan tinggi sebesar 79,7% dan 20,3% tidak memiliki
pendidikan (Sudhaberata, 2007).
Berdasarkan
tingkat pendidikan ibu hamil, insiden ibu hamil cenderung lebih tinggi daripada
kelompok ibu hamil dengan tingkat pendidikan rendah (Sudhaberata, 2007).
2.2.2 Pekerjaan
Menurut Soeparmanto dalam
Sardi (2007), pekerjaan adalah aktifitas yang
dilakukan oleh ibu dengan meninggalkan rumah untuk memperoleh penghasilan.
Ibu bekerja adalah ibu-ibu yang melakukan aktifitas ekonomi mencari
penghasilan baik disektor formal maupun disektor informal yang dilakukan secara
regular di luar rumah. Ibu tidak bekerja adalah ibu-ibu yang tidak melakukan
pekerjaan mencari penghasilan dan hanya menjalankan fungsi sebagai ibu rumah tangga
saja.
Pekerjaan umum dari ibu-ibu yang
meninggal adalah petani (67,9%) dan ibu rumah tangga (28,6%) ini membuktikan
bahwa ibu-ibu dari kalangan ekonomi rendah kurang beruntung karena rendahnya
akses terhadap pelayanan kesehatan oleh karena itu berbagai sebab ketidak
berdayaan ibu-ibu terhadap akses pelayanan kesehatan, yang baik antara lain
karena sebab ekonomi yang menyebabkan peningkatan resiko mendapat komplikasi
akibat kehamilan dan persalinan (Muhammad Ali, 2003).
2.2.3 Umur Ibu
Umur ibu adalah usia yang dihitung mulai dari tanggal kelahiran hingga
ibu dirawat, yang dihitung dalam tahun (Daryanto, 2002).
Distribusi kejadian pre-eklampsia - eklampsia berdasarkan umur
menurut beberapa referensi banyak ditemukan pada kelompok usia ibu yang ekstrem
yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun dan faktor resiko pada
kehamilan pre-eklampsia berat menemukan 2/3 kematian maternal terjadi pada usia
di atas 30 tahun atau lebih
(Sudhaberata, 2007).
Eklampsia
penderita gestosis kebanyak terjadi pada umur kurang dari 25 tahun dan pada usia ini kasus
eklampsia lebih menonjol, hal ini memperkuat penderita bahwa kenaikan tekanan
darah pada wanita hamil berusia muda akan lebih menimbulkan kejang. Sedangkan
menurut para ahli, semakin meningkatnya umur ibu hamil maka semakin meningkat
pula angka kejadian pre-eklampsia berat dalam kehamilan (Sudhaberata, 2007).
2.3
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pre-eklampsia Berat
yang Tidak Diteliti
2.3.1
Paritas
Paritas adalah
jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun
lahir mati (Amiruddin, 2004).
Paritas 2-3 merupakan paritas yang aman ditinjau dari sudut
kematian maternal, paritas 1 dan lebih dari 3
mempunyai angka kematian maternal yang tinggi, sedangkan pada paritas
tinggi dapat dicegah atau dikurangi dengan keluarga berencana (Wiknjosastro,
2005).
2.3.2
Status Ekonomi
Status ekonomi adalah upah minimum yang diukur
dari besarnya pendapatan keluarga ibu per bulan (UMS,
2007).
Pre-eklampsia - eklampsia merupakan penyakit
kehamilan sistemik yang etiologinya hingga kini belum
diketahui. Penyakit ini banyak dijumpai di daerah-daerah di luar jangkauan
Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas memadai dan pada umumnya diderita oleh
golongan sosial ekonomi lemah (Rambulangi, 2003).
2.3.3
Pengetahuan
Pengetahuan adalah hal-hal
yang diketahui oleh ibu dari hasil
“tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu (Notoatmodjo, 2005).
Pengetahuan
yang rendah sehingga seringkali penderita dibawa ke Rumah Sakit sudah dalam
keadaan kejang. Persalinan yang ditolong oleh dukun menyebabkan penderita
eklampsia terabaikan sehingga dirujuk dalam keadaan gawat (Sudinaya, 2003).