BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam upaya Indonesia sehat
2010 kehamilan dan persalinan di Indonesia harus berlangsung aman
serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat. Salah satu sasaran yang ditetapkan
adalah menurunkan angka kematian maternal dan neonatal (Saifuddin, 2002).
WHO memperkirakan lebih dari 585.000
ibu per tahunnya meninggal saat hamil dan bersalin. Masalah kematian dan
kesakitan ibu di Indonesia
masih merupakan masalah besar. Di negara-negara maju angka kematian maternal
berkisar antara 5-10 per 100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan Survey Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih
berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup, dan angka kematian bayi
masih pada kisaran 20 per 1000 kelahiran hidup (Wiknjosastro, 2005).
Tingginya angka kematian maternal
yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan dipengaruhi oleh beberapa
faktor kesehatan antara lain aborsi, kehamilan ektopik, perdarahan, hipertensi,
anemia, eklampsia serta sepsis (Dr. Braun, 2009).
Kehamilan ektopik merupakan penyebab
kematian ibu tertinggi. Di
Amerika Serikat, angka kematian ibu yang disebabkan oleh kehamilan ektopik meningkat dari
8 persen pada tahun 1970 menjadi 11 persen dalam periode 3 tahun hingga tahun
1990. (Williams, 2005)
Kehamilan ektopik adalah kehamilan
dimana setelah fertilisasi, implantasi terjadi diluar endometrium kavum uteri.
Dari penelitian yang dilakukan Budiono Wibowo di RSUP Cipto Mangunkusumo
Jakarta pada tahun 1987 dilaporkan 153 kehamilan ektopik terganggu dalam 4007
persalinan, atau 1 dalam 26 persalinan, ibu yang mengalami kehamilan ektopik
terganggu tertinggi pada kelompok umur 20-40 tahun. Dengan umur rata-rata 30
tahun. Frekuensi kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0%
sampai 14,6% (Sarwono,2002).
Perubahan mortilitas tuba yang
berhubungan dengan faktor hormonal dan defek
fare luteal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba menjadi lamban,
sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri.
Meningkatnya usia ibu akan diiringi dengan penurunan aktivitas mioelektrik tuba
(Wiki, 2009).
Perdarahan pervaginam merupakan tanda
penting pada kehamilan ektopik. Hal ini merupakan kematian janin dan berasal
dari kavum uteri karena pelepasan disedua. Perdarahan yang berasal dari uterus
biasanya tidak banyak dan berwarna coklat. Frekuensi perdarahan dikemukakan
dari 51 hingga 93% (Sarwono, 2005).
Berdasarkan tempat terjadinya yang
paling memungkinkan untuk hamil di luar rahim ini adalah di saluran telur. Bisa
pada satu saluran maupun saluran yang satu
lagi, dan terjadi pada lebih 90% dari semua kehamilan ektopik (Sarwono, 2005).
Menurut data yang diperoleh dari
Rumah Sakit Umum Pusat Mohammad Hoesin Palembang, jumlah kejadian kehamilan ektopik
meningkat setiap tahun, pada tahun 2006 sebanyak 53 kasus, tetapi terjadi penurunan pada tahun 2007
yaitu 27 kasus. Sedangkan pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebanyak 44
kasus dari 1.305 kehamilan.
Berdasarkan dari uraian diatas,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran kasus kehamilan
ektopik terganggu di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
periode 1 Januari 2008-31 Desember 2008.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana
Gambaran Kasus Kehamilan Ektopik terganggu di RSUP Mohammad Hoesin Palembang dalam
periode 1 Januari 2008-31 Desember 2008.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Mengetahui gambaran kasus kehamilan ektopik terganggu di RSUP
Mohammad Hoesin Palembang tahun 2008.
1.3.2
Tujuan Khusus
1.
Untuk mengetahui proporsi jumlah kejadian kehamilan ektopik terganggu di RSUP Mohammad Hoesin Palembang tahun
2008.
2.
Untuk mengetahui proporsi
umur penderita kehamilan ektopik terganggu di RSUP
Mohammad Hoesin Palembang tahun 2008.
3. Untuk mengetahui proporsi paritas ibu
pada penderita kehamilan ektopik terganggu di RSUP Mohammad Hoesin Palembang tahun 2008.
4.
Untuk mengetahui proporsi lokasi
kehamilan ektopik pada penderita kehamilan terganggu di RSUP Mohammad Hoesin
Palembang tahun 2008.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Bagi Instansi Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai masukan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan dan sebagai
pertimbangan dalam penanganan terjadinya kehamilan ektopik terganggu di Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang sehingga dapat menurunkan angka
kematian ibu.
1.4.2
Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah bahan referensi kepustakaan dan sebagai data dasar bagi penelitian
selanjutnya.
1.4.3
Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan
sebagai sarana belajar dalam mengaplikasikan ilmu yang didapat selama kuliah ke
dalam permasalahan yang ada di tengah masyarakat serta menambah wawasan ilmu
pengetahuan kesehatan masyarakat tentang penyebab serta pencegahan kehamilan
ektopik.
1.5 Ruang Lingkup
Mengingat luasnya masalah yang diteliti dari berbagai aspek, maka
penulis membatasi ruang lingkup pada gambaran kasus kehamilan ektopik terganggu
di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2008.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kehamilan Ektopik
2.1.1 Definisi
Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ektopik dengan asal kata
dari bahasa Yunani, topos yang
berarti tempat. Jadi itilah ektopik dapat diartikan “Berada di luar tempat
semestinya” (Emedicine, 2009).
Kehamilan ektopik ialah kehamilan dimana setelah fertilisasi,
implantasi terjadi di luar endometrium kavum uteri (Sarwono, 2002).
Kehamilan ektopik merupakan suatu kehamilan berbahaya bagi wanita
yang bersangkutan berhubungan dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang
gawat. Keadaan yang gawat ini dapat terjadi apabila kehamilan ektopik terganggu
(Winkjosastro, 2005).
2.1.2 Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik terganggu
telah banyak diselidiki, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui.
Wiknjosastro dalam bukunya menjelaskan beberapa faktor yang berhubungan dengan
penyebab kehamilan ektopik terganggu.
1.
Faktor Dalam Lumen Tuba
a.
Endosalpingitis, sehingga lumen
tuba menyempit atau membentuk kantong buntu.
b.
Pada hipoplasia uteri lumen
tuba sempit dan berkeluk-keluk dan hal ini sering disertai gangguan fungsi
silia endosalping.
c.
Operasi plastik tuba dan
sterilisasi yang tak sempurna dapat menjadi sebab lumen tuba menyempit.
2.
Faktor Pada Dinding Tuba
a.
Endometrosis tuba dapat
memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam tuba.
b.
Divertikel tuba kongenital atau
ostium assesorius tubae dapat menahan
telur yang dibuahi.
3.
Faktor di Luar Dinding Tuba
a.
Perlekatan peritubal dengan
distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat perjalanan telur.
b.
Tumor yang menekan dinding tuba
dapat menyempitkan lumen tuba.
4.
Faktor Lain
a.
Mingrasi luar ovum yaitu
perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri atau sebaliknya dapat memperpanjang
perjalanan terlalu cepat dan menyebabkan implantasi prematur.
b.
Fertilisasi In-Vitro
2.1.3 Klasifikasi
Sarwono Prawirohardjo dan Cuningham
masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan kehamilan ektopik berdasarkan
lokasinya antara lain.
1.
Tuba Fallopi
a.
Pars-Interstisialis
b.
Isthimus
c.
Ampula
d.
Infundibulum
e.
Fimbrae
2.
Uterus
a.
Kanalis servikalis
b.
Divertikulum
c.
Korno
d.
Tanduk rudimenter
3.
Ovarium
4.
Intraligamenter
5.
Abdominal
6.
Kombinasi kehamilan dalam dan
luar uterus
2.1.4 Epidemiologi
Sebagian besar wanita yang mengalami
kehamilan ektopik berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun.
Lebih dari 60% kehamilan ektopik terjadi pada wanita 20-30 tahun dengan sosial
ekonomi rendah dan tinggi di daerah prevalensi gonore dan prevalensi
tuberkalusa yang tinggi. Di antara kehamilan ektopik terganggu, yang banyak
terjadi ialah pada daerah tuba (90%). (Wiknjosastro, 2005)
Penelitian Cumningham di Amerika
Serikat melaporkan bahwa kehamilan ektopik terganggu lebih sering dijumpai pada
wanita kulit hitam daripada kulit putih karena prevalensi penyakit peradagangan
pelvis lebih banyak pada wanita kulit hitam. Frekuensi kehamilan ektopik
terganggu yang berulang adalah 1-4%.
2.1.5 Patogesis
Proses implantasi ovumnya dibuahi pada
dasar sama dengan terjadi di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara
kolumnar atau interkalumnar. Pada nidasi secara kolumnar telur bernidasi pada
ujung atau sisi jonjot. Endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi
oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan
direabsorsi. Pada nidasi interkolumner, telur bernidasi antara dua jonjot
endosalping. Setelah empat nidasi tertutup maka ovum dipisahkan dari lumen oleh
lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pesudokapsularis. Karena
pembentukan desidua di tuba melahan kadang-kadang sulit dilihat vili khorealis
menembus endosalping dan masuk ke dalam otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah.
Perkembangan janin selanjutnya terganggu dari beberapa faktor,
yaitu : tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang
terjadi oleh invasi trofoblas. (Wiknjosastro, 2005)
Di bawah pengaruh hormon esterogen dan
progesteron dari corpus liteum gaviditi dan tropoblas, uteri menjadi besar dan
lembek, endometrium dapat berubah menjadi desidua. Perubahan endomentrium
secara keseluruhan disebut sebagai reaksi Arias-Stella.
Sebagian besar kehamilan tuba terganggu
pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu. Karena tuba bukan tempat
pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti
dalam uterus.
Beberapa kemungkinan yang bisa terjadi
:
1.
Hasil konsepsi mati dini dan
diresorbsi
Pada implantasi secara kolumna, ovum yang dibuahi cepat
mati karena vaskularisasi yang kurang dan dengan mudah diresorbsi total.
2.
Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena terbukanya dinding
pembuluh darah oleh vili koriolis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat
melepaskan mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Segera setelah perdarahan, hubungan antara plasenta serta
membran terhadap dinding tuba terpisah bila pemisahan sempurna, seluruh hasil
konsepsi dikeluarkan melalui ujung fimbrae tuba ke dalam kavum peritonium.
Dalam keadaan tersebut perdarahan berhenti dan gejala-gejala menghilang.
3.
Rupture dinding tuba
Penyebab utama dari rupture tuba adalah penembusan
dinding vili koriolis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.
Rupture tuba sering terjadi bila ovum yang dibuahi berimplantasi pada isthimus
dan biasanya terjadi pada kehamilan lebih lanjut. Rupture yang disebabkan
trauma ringan seperti pada koltus dan pemeriksaan vagina.
2.1.6 Gambaran Klinik
Gambaran klinik kehamilan tuba yang
belum terganggu tidak khas, dan penderita maupun dokternya biasanya tidak
mengetahui adanya kelainan dalam kehamilan, sampai terjadinya abortus atau
ruptur tuba. (Wiknjosastro, 2000)
Gejala-gejala yang terpenting menurut Sastrowinata.
1.
Nyeri perut
Gejala ini sering dijumpai pada setiap penderita. Bila
kavum abdomen terisi darah lebih dari 500 ml akan menyebabkan perut tegang,
nyeri tekan ke bahu dan leher karena adanya rangsang darah pada diafragma.
2.
Amenore
Riwayat amenore tidak ditemukan pada seperempat kasus
atau lebih. Salah satu sebabnya adalah karena pasien menganggap perdarahan
pervaginam yang lazim pada kehamilan ektopik sebagai periode haid yang normal,
dengan demikian memberikan tanggal haid terakhir yang keliru.
3.
Perubahan Pervaginam
Dengan matinya telur desidua yang mengalami degenerasi
dan nekrosis, selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk perdarahan. Perdarahan
tersebut biasanya sedikit-sedikit berwarna coklat, gelap dan dapat
terputus-putus atau terus-menerus.
4.
Hipovolemi
Penurunan nyata tekanan darah dan kenaikan denyut nadi
dalam posisi duduk merupakan tanda yang paling sering menunjukkan adanya
penurunan volume darah yang cukup banyak. Semuanya perubahan tersebut mungkin
baru terjadi setelah timbul hipovolemi yang serius.
5.
Perubahan uterus
Uterus pada kehamilan ektopik akan membesar, karena
pengaruh hormon-hormon kehamilan, tetapi sedikit lebih kecil dibandingkan
dengan uterus pada kehamilan intouterin yang sama umumnya.
6.
Tumor dalam rongga panggul
Dalam rongga panggul dapat teraba tumor lunak kenyal
yang disebabkan oleh kumpulan darah di tuba dan sekitarnya.
7.
Perubahan darah
Karena perdahan yang terlalu banyak di rongga perut,
sehingga kadar hemoglobin akan cenderung turun pada kehamilan ektopik
terganggu.
2.1.7 Gejala Kehamilan Ektopik
Gejala-gejala kehamilan ektopik
terganggu beraneka ragam, sehingga pembuatan diagnosis kadang menimbulkan
kesulitan. Berikut ini merupakan jenis pemeriksaan untuk membantu diagnosis
kehamilan ektopik ( Sarwono, 2002)
a.
Tes Kehamilan
Tes ini dapat membantu diagnosis khususnya terhadap
tumor-tumor adneks, yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehamilan, apabila
tesnya positif.
b.
Dilatasi dan Kuretase
Biasanya kuretase dilakukan apabila sesudah amenore
terjadi perdarahan yang cukup lama tanpa menemukan kelainan yang nyata
disamping uterus.
c.
Laparaskopi
Laparaskopi merupakan cara pemeriksaan yang sangat
penting untuk diagnosis kehamilan ektopik pada umumnya pada kehamilan ektopik
yang tidak terganggu.
d.
Ultrasonografi
Keunggulan cara pemeriksaan ini terhadap laparaskopi
ialah tidak invasif, artinya tidak perlu memasukan rongga perut. Dapat dinilai
kavum uteri, kosong atau berisi, tebal endometrium, adanya masa di kanan kiri
uterus dan apakah kavum douglas berisi cairan.
e.
Kuldosentesis
Tindakan kuldosintesis atau punksi douglas .
Adanya darah yang diisap berwarna hitam (darah tuba) biarpun sedikit,
membuktikan adanya darah di kavum douglas .
f.
Histerosalpingografi
Memberikan gambara kavum uteri kosong dan lebih besar dari
biasa, dengan janin di luar uterus.
2.1.8 Diagnosis Diferensial
Yang perlu diperkirakan sebagai
diagnosis difrerensial adalah (Winkjosastro, 2005)
1.
Infeksi Pelvis
Gejala yang menyertai infeksi pelvik biasanya timbul
waktu haid dan jarang setelah mengenai amenore, nyeri perut bagian bawah dan
tekanan yang dapat diraba pada pemeriksaan vagina pada umumnya bilateral. Pada
infeksi pelvik perbedaan suhu rektal dan ketiak melebih 0,5 oC.
Selain itu leukositosis lebih tinggi daripada kehamilan ektopik terganggu dan
tes kehamilan menunjukkan hasil negatif.
2.
Abortus Iminens
Dibandingkan dengan kehamilan ektopik terganggu
perdarahan lebih merah sesudah amenore, rasa nyeri yang sering beralokasi di
daerah medial, dan adanya perasaan subjektif penderita yang merasakan rasa
tidak enak di perut lebih menunjukkan kearah abortus iminens atau permulaan
abortus incipiens. Pada abortus incipiens, pada abortus tidak dapat diraba
tekanan disamping atau di belakang uterus, dan gerakan serviks uteri tidak
menimbulkan rasa nyeri.
3.
Appendisitis
Pada appendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada
gerakan servik uteri seperti yang ditemukan pada kehamilan ektopik terganggu,
nyeri bagian bawah pada appendisitis.
2.1.9 Penanganan
Pada kehamilan ektopik terganggu,
walaupun tidak selalu bahaya terhadap jiwa penderita, dapat dilakukan terapi
konservatif, tetapi sebaiknya tidak dilakukan tindakan operasi. Kekurangan dari
terapi konservatif yaitu walaupun darah berkumpul di rongga abdomen lambat laun
dapat diresorbsi atau untuk sebagian dapat dikeluarkan dengan kolpotomi
(pengeluaran melalui vagina dari darah di kavum douglas ),
sisa darah dapat menyebabkan perlekatan-perlekatan dengan bahaya ileus.
Operasi terdiri atas sakpingektomi,
tetapi jika ovarium masuk dalam gumpalan darah dan sukar dipisahkan, sehingga
dilakukan salpingo-ooferektomi. Jika penderita sudah punya anak yang cukup, dan
terdapat kelainan pada tuba, dapat dipertimbangkan untuk mengangkat tuba dan
untuk mencegah berulangnya kehamilan ektopik.
Pada rupture tuba, segera dilakukan
transfusi darah, perdarahan selekas mungkin dihentikan dengan menjepit bagian
adneks sumber perdarahan. Sedangkan pada rupture pars interstisialis tuba
seringkali terpaksa dilakukan histerektomi subtotal.
2.1.10 Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik
terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang
cukup.
Pada umumnya kehamilan yang
menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian wanita menjadi
steril, setelah mengalami kehamilan ektopik, atau dapat mengalami kehamilan
ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang
dilaporkan antara 0% sampai 14,6%. Untuk wanita dengan anak yang sudah cukup,
sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi bilateralis.
2.2
Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kehamilan
Ektopik Terganggu
2.2.1
Umur
Sebagian
besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik terganggu berumur antara 25-35
tahun (Sarwono, 2002).
2.2.2
Paritas
Pada
umumnya kelainan-kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat
bilateral. Sebagian wanita menjadi steril, setelah mengalami kehamilan ektopik,
atau mengalami ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan berulang
ektopik yang dilaporkan 0%-14,6% untuk wanita dengan anak yang sudah cukup,
resiko untuk menderita kehamilan ektopik terganggu pada ibu dengan hamil 3 ke
atas dibandingkan dengan ibu hamil dengan paritas 1-2 kali (Wiknjosastro,
2005).
2.2.3
Status Ekonomi
Penyebab
utama kehamilan ektopik banyak terdapat bersamaan dengan keadaan gizi buruk dan
keadaan kesehatan yang rendah, maka kejadian lebih tinggi di negara sedang
berkembang dan pada masyarakat yang berstatus ekonomi rendah dari pada negara
maju dan pada masyarakat yang berstatus ekonomi tinggi.
2.2.4
Pemakaian Antibiotik
Pemakaian
entibiotik dapat meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. Antibiotik dapat
mempertahankan terbukanya tuba yang mengalami infeksi, tetapi perlekatan
menyebabkan pergerakkan silia dan peristalsis tuba terganggu dan menghambat
perjalanan ovum yang dibuahi dari ampula ke rahim, sehingga implantasi terjadi
pada tuba (Winkjosastro, 2005).