Ilmu Asuhan Kebidanan dan Keperawatan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BAYI DAN BALITA DI PUSKESMAS SWAKELOLA KENTEN PALEMBANG TAHUN 2009


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan            paru-paru (alveoli). Pneumonia dapat diketahui berdasarkan pedoman tanda-tanda klinis lainnya dan pemeriksaan penunjang (rontgen, laboratorium)            (Wilson, 2006).
Menurut laporan World Health Organization (WHO) sekitar 800.000 hingga 1 juta anak meningga dunia tiap tahun akibat pneumonia. Bahkan WHO menyebutkan pneumonia sebagai penyebab kematian anak balita tertinggi melebihi penyakit lain. Seperti campak, malaria, serta AIDS (Administrator, 2008).
Pada Maret 2007 WHO mengeluarkan rekomendasi agar negara-negara di dunia memperioritaskan pengunaan imunisasi nasional                      (Harian Kompas, 2007).
Di Indonesia, kejadian pneumonia cenderung meningkat tajam dari 5/10.000 penduduk tahun 1990 menjadi 212,6 per 10.000 penduduk pada tahun 1998 (Depkes, 2000). Pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan TBC. Faktor status ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian. Kasus pneumonia ditemukan paling banyak menyerang anak balita.
Menurut spesialis anak Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita memperkirakan lebih dari 50% kasus pneumonia pada bayi disebabkan infeksi bakteri pneumokokus (Hr. Media Indonesia, 2007).
Hasil Survey Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001 yang menunjukkan bahwa proporsi kematian bayi akibat Infeksi Saluran Pernafasan Akut  (ISPA) masih terlalu tinggi yakni sebesar 28%, dan 80% kasus ISPA pada balita adalah akibat pneumonia. Angka kematian balita akibat pneumonia pada akhir tahun 2000 di Indonesia diperkirakan sekitar 4,9/1.000 balita, berarti rata-rata 1 anak balita Indonesia meningga akibat pneumonia setiap 5 menit (Depkes, 2004).
Menurut Data Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 menyebutkan 23% kematian bayi disebabkan pneumonia.  
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota, kasus ISPA (pneumonia) di Palembang tahun 2007 sebesar 53,3% dan tahun 2008 menurun menjadi 37,8% (Data Dinkes Kota Palembang, 2008).
Dan data dari Puskesmas Swakelola Kenten Palembang pada tahun 2008 jumlah kejadian pneumonia bayi dan balita yaitu 111 penderita (Data Puskesmas Kenten, 2008).
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia antara lain faktor anak (umur anak, status gizi, vitamin A dan status imunisasi), faktor-faktor ibu (tingkat pendidikan rendah, tingkat status ekonomi rendah) tingkat pelayanan kesehatan yang rendah, faktor lingkungan (pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah, dan kepadatan hunian rumah)                   (Prabu, 2009).
Berdasarkan data tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Bayi dan Balita di Puskesmas Swakelola Kenten Palembang Tahun 2009”.
1.2    Rumusan Masalah
Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada bayi dan balita di Puskesmas Swakelola Kenten Palembang tahun 2009?

1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1        Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara umur balita, pendidikan ibu, status ekonomi, dan status imunisasi dengan kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Swakelola Kenten Palembang tahun 2009.

1.3.2        Tujuan Khusus
1.      Diketahuinya hubungan antara umur balita dengan kejadian pneumonia pada bayi dan balita di Puskesmas Swakelola Kenten Palembang tahun 2009.
2.      Diketahuinya hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian pneumonia pada bayi dan balita di Puskesmas Swakelola Kenten Palembang tahun 2009.
3.      Diketahuinya hubungan antara status ekonomi dengan kejadian pneumonia pada bayi dan balita di Puskesmas Swakelola Kenten Palembang tahun 2009.
4.      Diketahuinya hubungan antara status immunisasi dengan kejadian pneumonia pada bayi dan balita di Puskesmas Swakelola Kenten Palembang tahun 2009.


1.4    Manfaat Penelitian
1.4.1        Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kepustakaan dan pengetahuan yang berguna bagi mahasiswi Program Studi D III Akademi Kebidanan Budi Mulia Palembang.

1.4.2        Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi puskesmas dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada balita akibat pneumonia.

1.4.3        Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan khususnya tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada bayi dan balita sebagai pengalaman proses belajar khususnya dibidang ilmu metodologi penelitian.

1.5    Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini pada lingkup komunitas kebidanan dengan subjek ibu yang mempunyai bayi dan balita, dan dibatasi pada variabel umur balita, pendidikan ibu, status ekonomi dan status imunisasi dengan kejadian pneumonia, penelitian ini dilakukan di Puskesmas Swakelola Kenten Palembang tahun 2009.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1    Konsep Dasar Pneumonia
2.1.1        Definisi
Pneumonia adalah saluran pernapasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru (Arif Mansjoer dkk, 2000).
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang disebabkan terutama oleh bakteri ; merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang paling sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita (Misnadiarly, 2008).
Pneumonia adalah penyakit peradangan pada paru-paru yang diakibatkan virus, bakteri dan jamur (Meiliasari, 2005).

2.1.2        Etiologi
Sebagian besar penyebab pneumonia adalah mikroorganisme (virus dan bakteri). Akan tetapi mikroorganisme tersering penyebab pneumonia adalah virus, terutama respiratory syncial virus (RSV) yang mencapai 40% sedangkan golongan bakteri yang ikut berperan serta terutama strepcoccus pneumoniae dan haemoptillus influenzae type b (Hib). Dan sebagian kecil penyebab pneumonia seperti hidrokarbon (minyak tanah, bensin, atau sejenisnya) dan masuknya makanan, minuman, susu, isi lambung ke dalam saluran pernapasan (aspirasi) (Setiowulan, 2000).
Secara umum penyebab pneumonia adalah bakteri, yaitu strepcoccus pneumonia dan haemoptillus influenzae. Pada bayi dan           anak kecil ditemukan staphylococcus aureus sebagai penyebab pneumonia (Arif Mansjoer dkk, 2000).

2.1.3        Gejala dan Tanda Klinis
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat mencapai 40 oC, sesak nafas, nyeri dada, dan batuk hijau. Pada sebagian penderita juga ditemukan gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan dan sakit kepala (Misnadiarly, 2008).
Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, sesak napas, pucat, merintih. Anak yang lebih besar dengan pneumonia akan lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada            (Arif Mansjoer dkk, 2000).
Menurut program P2ISPA (Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut) mengklasifikasikan penderita ke dalam 2 kelompok usia :
a.       Usia di bawah 2 bulan (pneumonia berat dan bukan pneumonia).
1.      Pneumonia berat ditandai dengan frekuensi pernapasan sebanyak           60 x/m atau lebih atau (juga disertai) penarikan kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.
2.      Bukan pneumonia mencakup kelompok balita penderita batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
b.      Usia di atas 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun (pneumonia berat dan bukan pneumonia).
1.      Pneumonia ditandai dengan demam, sesak nafas, nafas dan nadi cepat, dahak berwarna kehijauan atau seperti karet.
2.      Pneumonia berat ditandai dengan adanya batuk atau (juga disertai) kesukaran bernafas, nafas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam.
3.      Bukan pneumonia mencakup balita penderita batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
(No Name, 2005).

2.1.4        Diagnosa dan Pengobatannya
Diagnosa pneumonia dilakukan dengan foto toraks, pada foto toraks bronkopneumonia biasanya terdapat bercak-bercak infiltrat pada satu atau beberapa lobus. Pemeriksan laboratorium juga dilakukan, gambaran darah tepi menunjukkan leukositosis. Pengobatan yang diberikan berdasarkan etiologi dan resistensi karena perlu waktu dan pasien perlu terapi dan diberi antibiotik sehingga bisa tetap dirawat di rumah (Ngastiyah, 2005).
Namun sebagian besar pasien pusat akibatnya kurang nafsu makan dan kekurangan oksigen, maka dapat diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisis.
Penanganan dan pengobatan pada penderita pneumonia tergantung dari tingkat keparahan gejala yang timbul dan tipe dari penyebab pneumonia itu sendiri. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri akan diberikan pengobatan antibiotik. Pengobatan haruslah benar-benar komplit sampai benar-benar tidak lagi adanya gejala atau hasil pemeriksaan X-ray dan sputum tidak lagi menampakkan adanya bakteri pneumonia. Pneumonia yang disebabkan oleh virus akan diberikan pengobatan yang hampir sama dengan penderita flu, namun lebih ditekankan dengan istirahat yang cukup dan pemberian intake cairan yang cukup banyak serta gizi yang baik untuk membantu pemulihan daya tahan tubuh. Pneumonia yang disebabkan oleh jamur akan mendapatkan pengobatan dengan pemberian anti jamur (No Name, 2008).

2.1.5        Pencegahan
Untuk orang-orang rentan terhadap pneumonia, latihan bernafas dalam dan terapi untuk membuang dahak, bisa membantu mencegah terjadinya pneumonia. Vaksin bisa membantu mencegah beberapa jenis pneumonia pada anak dan orang dewasa yang beresiko tinggi :
1.      Vaksin pneumokokus (untuk mencegah pneumonia) karena streptococcus pneumoniae).
2.      Vaksin flu
3.      Vaksin Hib (untuk mencegah pneumonia karena haemophilus influenzae type b) (No Name, 2006).
Vaksin pnumonia terbukti bersifat 60-70% protektif terhadap 23 tipe terkait vaksin. Vaksin dapat membantu mengurangi munculnya pneumokokus yang resisten obat (Huriawati Hartanto, 2005).
Pencegahan yang sebaiknya dilakukan orang tua dan perlu diwaspadai yaitu :
1.      Hindarkan anak (bayi) dari asap rokok, polusi udara dan tempat yang berpotensi penularan.
2.      Menghindarkan bayi (anak) dari kontak dengan penderita ISPA.
3.      Memberikan ASI
4.      Segera berobat jika mendapati anak mengalami panas, batuk, pilek jika disertai suara serakm, sesak nafas (Misnadiarly, 2008).

2.2    Faktor yang Diteliti Berhubungan dengan Pneumonia
2.2.1        Umur
Balita adalah anak yang telah menginjak usia 1 – 5 tahun         (Hindah Muaris, 2006).
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak            (Prabu, 2009).
Radang paru-paru adalah penyakit umum yang terjadi di seluruh kelompok umur, dan merupakan penyebab kematian peringkat atas. Vaksin untuk beberapa jenis radang paru-paru bisa diperoleh. Prognosis perseorang tergantung dari jenis radang paru-paru/pneumonia, perawatan yang cocok dan komplikasinya (No Name, 2007).
2.2.2        Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan merupakan salah satu aspek yang dapat  memperngaruhi tingkah laku manusia. Menurut Prihartono dan Martina (2006), tingkat pendidikan responden sebagian besar datang dari kelompok masyarakat yang berpendidikan rendah sehingga resiko penyakit pneumonia banyak terjadi pada balita dengan ibu yang berpendidikan rendah.
2.2.3        Status Ekonomi
Faktor ekonomi digambarkan sebagai kontributor yang besar terhadap penyakit saluran pernafasan karena terdapat hubungan yang baik antara status ekonomi dan morbiditas infeksi saluran pernafasan akut (Machmud, 2006).
2.2.4        Status Imunisasi
Sebagian besar kematian pneumonia / ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Cara yang tepat dan paling efektif saat ini adalah pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat dicegah (Prabu, 2009).
Imunisasi campak diberikan pada bayi umur 9 – 11 bulan.              (Depkes RI).
Di samping itu perlu dilakukan perbaikan lingkungan dan pemberian imunisasi Hib dan IPD, imunisasi Hib dan streptokokus pneumonia (IPD) diharapkan mampu melindungi anak balita dari ancaman kematian oleh pneumonia, radang selaput otak (meningitis) dan baktermia yang disebabkan oleh kedua kuman tersebut. Pemberian kedua vaksi telah terbukti memberikan perlindungan hingga 98% pada bayi yang telah memperoleh imunisasi (No Name, 2008).

2.3    Faktor yang Tidak Diteliti Berhubungan dengan Pneumonia
2.3.1        Status Gizi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA karena faktor daya tahan tubuh yang kurang (Prabu, 2009).  

2.3.2        Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap 6 bulan posyandu memberikan kapsul 200.000 vitamin A pada balita dari umur 1 bulan sampai 4 tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok kontrol (Prabu, 2009). 
Pemberian Vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan antibodi yang spesifik karena dapat meningkatkan daya tahaun tubuh dan perlindungan terhadap anak sehingga dapat tumbuh kembang dengan baik (Prabu, 2009).

2.3.3        Lingkungan
Unsur lingkungan memegang peranan yang cukup penting, dimana resiko ini terbentuk karena adanya interaksi antara manusia dan lingkungan yang berimbas kepada kesehatan masyarakat (Machmud, 2006).
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapat terletak di dalam rumah bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi (Prabu, 2009).

2.3.4        Pengetahuan Ibu
Tingkat pengetahuan juga berdampak besar dalam kejadian pneumonia pada balita dan ini biasanya berkaitan erat dengan pendidikan ibu. Tingginya morbiditas atau mortalitas bukan karena ibunya tidak sekolah, melainkan karena anak-anak tersebut mendapatkan makanan yang kurang memadai ataupun terlambat dibawa kepelayanan kesehatan (Machmud, 2005).  

Share:

Popular Posts

Jumlah Pengunjung

Cari judul yang anda butuhkan disni

Blog Archive

© Al Anshor 2017 All Reserved. Powered by Blogger.

Labels

Blog Archive