BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kematian maternal adalah kematian wanita sewaktu hamil,
melahirkan atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung
dari lama dan lokasi kehamilan, disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan
kehamilan atau penanganannya, tetapi tidak secara kebetulan atau oleh penyebab
tambahan lainnya (Wiknjosastro, 2005).
Menurut World Health Organization (WHO) di
negara-negara miskin dan sedang berkembang, kematian maternal berkisar antara
750-1.000 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan di negara-negara maju kematian
maternal berkisar antara 5-10 per 100.000 kelahiran hidup (Wiknjosastro, 2005).
Di dalam rencana strategi nasional Making Pregnancy
Safer (MPS) di Indonesia
2001-2010 disebut bahwa dalam konteks rencana pembangunan menuju Indonesia
sehat 2010, Visi MPS adalah “kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung aman,
serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat” (Saifuddin, 2002).
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
2002/2003, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada 307 per
100.000 kelahiran hidup atau setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin yang
meninggal dunia karena berbagai sebab. Penatalaksanaan MPS (Making Pregnancy
Safer), target yang diharapkan dapat dicapai tahun 2010 adalah angka
kematian ibu menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup (Ahmad Sujudi, 2004).
Derajat kesehatan ibu tetap merupakan prioritas utama
dalam pembangunan kesehatan menuju tercapainya Indonesia Sehat 2010. Mengenai
penyebab kematian bahwa 90% kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, toksemia
gravidarum, infeksi, partus lama dan komplikasi abortus. Kematian ini paling banyak terjadi pada persalinan yang sebenarnya
dapat dicegah (Ahmad Sujudi, 2004).
Salah satu
faktor penting dalam upaya penurunan angka kematian tersebut yaitu penyediaan
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dekat dengan
masyarakat belum terlaksana dengan baik (Saifuddin, 2002).
Perdarahan
merupakan penyebab kematian kedua yang paling penting. Perdarahan dapat
disebabkan oleh abortus yang tidak lengkap. Ada beberapa alasan dan kondisi
individualis yang memungkinkan terjadinya abortus. Beberapa karakteristik umum
dapat diklasifikasikan yaitu status ekonomi, pendidikan, status perkawinan,
tempat tinggal, pekerjaan, umur dan paritas (Nasrin, 2007).
Menurut Siswanto, abortus di negara-negara sedang
berkembang sebagian besar (lebih dari 90%) dilakukan tidak aman, sehingga
berkontribusi sekitar 11-13%
terhadap kematian maternal di dunia (WHO, 2004).
Di
Zimbabwe, Afrika, dilaporkan bahwa sekitar 28% seluruh kematian ibu berhubungan
dengan abortus. Sementara di Tanzania dan Adis Ababa masing-masing-masing
sebesar 21% dan 54%. Hal ini diperkirakan merupakan bagian kecil dari kejadian yang sebenarnya, sebagai
akibat ketidakterjangkauan pelayanan kedokteran modern yang ditandai
oleh kesenjangan informasi (Nasrin, 2007).
Insiden
abortus sulit ditentukan karena kadang-kadang seorang wanita mengalami abortus
tanpa mengetahui bahwa ia hamil, dan tidak mempunyai gejala yang hebat sehingga
hanya dianggap sebagai menstruasi yang terlambat (siklus memanjang). Terlebih
lagi abortus kriminalis, sangat sulit ditentukan karena biasanya tidak
dilaporkan. Angka kejadian abortus dilaporkan oleh rumah sakit sebagai rasio
dari jumlah abortus terhadap jumlah kelahiran hidup. Di USA, angka kejadian
secara nasional berkisar antara 10-20%. Di Indonesia kejadian berdasarkan
laporan rumah sakit, seperti di RS Hasan Sadikin Bandung berkisar antara 18-19%
(Sastrawinata, 2005).
Menurut Prof. Dr. Wimpie Pangkahila abortus di Indonesia
tingkat abortus masih cukup tinggi dibanding dengan negara-negara maju di
dunia, yakni mencapai 2,3 juta abortus per tahun. 1 juta diantaranya adalah
abortus spontan, 0,6 juta disebabkan oleh kegagalan program KB, dan 0,7 juta
karena tidak pakai alat kontrasepsi KB (Lombok News, 2007).
Angka Kematian Ibu (AKI) Kota Palembang berdasarkan
laporan indikator Database 2005 United
Nation Found Population (UNFPA) 6th Country Programe
adalah 317 per 100.000 kelahiran, lebih rendah dari Propinsi Sumsel sebesar 467
per 100.000 kelahiran. Jumlah kematian ibu tahun 2005 di Kota Palembang
sebanyak 15 orang diantaranya disebabkan oleh perdarahan dan selebihnya
disebabkan faktor lainnya termasuk abortus (Dinkes Sumel, 2006).
Ada
beberapa alasan dan kondisi individualis yang memungkinkan terjadinya abortus.
Beberapa karakteristik umum dapat didefinisikan yaitu tingkat pendidikan,
pekerjaan, status ekonomi, tinggal di daerah perkotaan, status perkawinan, umur
dan paritas. Estimasi nasional menyatakan setiap tahun terjadi 2 juta kasus
abortus di Indonesia, artinya terdapat 43 kasus abortus per 100 kelahiran hidup
perempuan usia 15 - 49 tahun. Sebuah penelitian yang dilakukan di 10 kota besar
dan 6 kabupaten di Indonesia ditemukan bahwa insiden abortus lebih tinggi
diperkotaan dibandingkan dipedesaan (Nasrin, 2007).
Dari data yang diperoleh dari rekam
medik di Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Mohammad Hoesin Palembang tahun 2006, angka kejadian abortus sebesar 123 kasus dengan
kejadian abortus imminens sebanyak 106 kasus (86,17%), abortus komplit sebanyak
2 kasus (1,62%), abortus inkomplit sebanyak 12 kasus (9,75%) dan missed
abortion sebanyak 3 kasus (2,44%) (Juniarti, 2007).
Berdasarkan data di atas, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Abortus di Instalasi Rawat Inap
Kebidanan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2008”.
1.2
Rumusan Masalah
Faktor-faktor apa saja yang
berhubungan dengan kejadian abortus di Instalasi Rawat Inap
Kebidanan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada tahun 2008?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara
umur ibu, paritas, pendidikan dan pekerjaan dengan kejadian abortus di
Instalasi Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Palembang pada tahun 2008.
1.3.2
Tujuan Khusus
1.
Diketahuinya hubungan antara
umur ibu dengan kejadian abortus
di Instalasi Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Palembang pada tahun 2008.
2.
Diketahuinya hubungan antara
paritas dengan kejadian abortus di Instalasi Rawat Inap
Kebidanan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Palembang pada tahun 2008.
3.
Diketahuinya hubungan antara
pendidikan dengan kejadian abortus
di Instalasi Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Palembang pada tahun 2008.
4.
Diketahuinya hubungan antara
pekerjaan dengan kejadian abortus
di Instalasi Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Palembang pada tahun 2008.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Bagi RSMH
Hasil
penelitian dapat dijadikan bahan evaluasi keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan mencegah dan mengatasi
masalah kejadian abortus sebagai upaya untuk menurunkan angka kejadian abortus
di Instalasi Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Tahun 2008.
1.4.2
Bagi Tenaga Kesehatan
Hasil
penelitian ini dapat menjadi dasar bagi tenaga kesehatan agar lebih proaktif
dalam memberikan asuhan pada semua ibu hamil dalam mencegah terjadinya
komplikasi kehamilan dan persalinan salah satunya yaitu abortus melalui
pemeriksaan Antenatal Care (ANC).
1.4.3
Bagi Institusi
Pendidikan
Hasil
penelitian ini dapat memberikan informasi yang berarti sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan mahasiswi Akademi Kebidanan Budi Mulia tentang
kejadian abortus.
1.5
Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian abortus. Adapun
variabel yang diteliti yaitu umur, paritas, pendidikan, pekerjaan ibu hamil
dengan kejadian abortus. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Rawat Inap
Kebidanan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang, yang
rencananya akan dilaksanakan pada bulan Juni 2008 dengan populasi semua ibu
hamil yang pernah dirawat di Instalasi Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2008.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Abortus
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan oleh akibat-akibat
tertentu atau sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan
belum mampu untuk hidup di luar kandungan. (Saifuddin, 2002).
2.2
Etiologi Abortus
Faktor-faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya abortus, yaitu :
1. Faktor Janin
Kelainan yang paling
sering dijumpai pada abortus adalah gangguan pertumbuhan zigot, embrio, janin
atau plasenta. Kelainan tersebut biasanya
menyebabkan abortus pada trimester pertama, yakni :
a.
Kelainan telur, telur kosong (blighted ovum), kerusakan embrio atau
kelainan kromosom (monoksomi, trisomi, atau poliploidi).
b.
Embrio dengan kelainan lokal.
c.
Abnormalitas pembentukan plasenta (hipoplasi trofoblas).
2. Faktor Maternal
a.
Infeksi
Infeksi maternal dapat
menyebabkan risiko bagi janin yang sedang berkembang terutama pada akhir
trimester pertama atau awal trimester kedua.
Penyakit-penyakit yang
dapat menyebabkan abortus :
1) Virus,
misalnya rubella, sitomegalovis, virus hrpes simpleks, varicella zoster, vaccina, campak,
hepatitis, polio dan ensefalomielitis.
2) Bakteri, misalnya salmonella
typhi.
3) Parasit, misalnya toxoplasma
gondii, plasmodium.
b.
Penyakit vaskular, misalnya hipertensi vascular.
c.
Kelainan endokrin.
d.
Faktor imunologis.
e.
Trauma.
f.
Kelainan uterus.
g.
Faktor psikosomatik.
3. Faktor Eksternal
a.
Radiasi
Dosis 1-10 rad bagi
janin pada kehamilan 9 minggu pertama dapat
merusak janin dan dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan keguguran.
b.
Obat-obatan, misalnya anatagonis asam polat, antikoagulan dan lain-lain.
c.
Bahan-bahan kimia lainnya, seperti bahan yang mengandung arsen dan benzen
(Sastrawinata, 2005)
2.3
Klasifikasi Abortus
2.3.1 Berdasarkan Kejadiaannya
1. Abortus spontan adalah keluarnya
hasil konsepsi tanpa intervensi medis maupun mekanis.
2. Abortus buatan
a. Abortus buatan menurut kaidah ilmu
Indikasi abortus untuk
kepentingan ibu, misalnya penyakit jantung, hipertensi esensial dna karsinoma
serviks.
Keputusan ini
ditentukan oleh tim ahli yang terdiri dari dokter, ahli kebidanan, penyakit
dalam dan psikiatrik atau psikolog.
b. Abortus buatan kriminal
Adalah pengguguran
kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau oleh orang yang tidak berwenang dan
dilarang oleh hukum atau dilakukan oleh yang tidak berwenang. (Sastrawinata,
2005).
2.3.2 Menurut Wiknjosastro
(2005), berdasarkan gambaran klinisnya abortus terbagi menjadi :
1.
Abortus Iminens
Adalah peristiwa terjadi perdarahan dari uterus pada
kelainan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus.
2.
Abortus Insipiens
Adalah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan
sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat tetapi
hasil konsepsi masih dalam uterus.
3.
Abortus Inkomplit
Adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan hasil masih ada yang sisa yang
tertinggal dalam uterus.
4.
Abortus Komplit
Abortus seluruh hasil kosepsi dikeluarkan (desidua dan
fetus), sehingga rongga rahim kosong.
5.
Missed Abortion
Adalah kematian janin sebelum 20 minggu tetapi janin
mati tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih.
6.
Abortus Infeksiosus dan Abortus
Septik
Abortus infeksiosus adalah keguguran yang disertai
infeksi genetikal. Abortus septik adalah keguguran disertai infeksi berat
dengan penyebaran kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau
poritoneum.
7.
Abortus Habitualis
Adalah keadaan dimana seseorang mengalami keguguran tiga kali
berturut-turut atau lebih. (Sastrawinata, 2005)
2.4
Kriteria Diagnosis
Menurut Achadiat (2004), ada beberapa
kriteria abortus yaitu :
1.
Adanya terlambat haid atau
amenore kurang dari 20 minggu.
2.
Perdarahan pervaginam, dapat
pula disertai jaringan.
3.
Rasa nyeri atau kram, terutama
di daerah supra simfisis.
4.
Diagnosis abortus immines
ditegakkan dengan terjadinya perdarahan pada wanita hamil kurang dari 20
minggu, kadang disertai rasa mules, uterus membesar sebagaimana usia kehamilan,
serviks dijumpai tidak membuka dan tes kehamilan hasilnya (+)/positif.
5.
Abortus insipiens apabila
dijumpai ostium dalam keadaan terbuka, dengan hasil konsepsi masih terdapat
dalam uterus.
6.
Abortus inkompletus jika
sebagian hasil konsepsi telah keluar, namun sebagian masih tertinggal intra
uterus. Ostium uteri eksternum dijumpai terbuka, kadang-kadang teraba adanya
jaringan atau bahkan kadang menonjol di ostium.
7.
Abortus kompletus apabila
keseluruhan jaringan hasil konsepsi telah keluar secara lengkap.
8.
Missed abortion biasanya
ditandai dengan adanya pengecilan ukuran uterus hamil, oleh karena itu sering
kali diagnosis ditegakkan setelah melalui beberapa kali pemeriksaan serial.
Sering kali missed abortion didahului dengan abortus immines yang kemudian
menghilang spontan atau setelah diobati.
9. Abortus infeksiosus bila telah terlihat tanda-tanda infeksi, yakni
kenaikan suhu tubuh (> 38oC), kenaikan angka leukosit (WBC) dan
discharge berbau pervaginam.
10. Abortus Habitualis
a.
Pada Triwulan I dapat diikuti
dengan melakukan pemeriksaan vagina tiap minggu, mengeluarkan banyak lendir
dari vagina, untuk penentu serviks inkompeten dilakukan dengan
histerosalpingografi yaitu ostium internum uteri melebar lebih dari 8 mm.
b.
Pada Triwulan II terjadi pembukaan serviks tanpa disertai mules,
ketuban menonjol dan pada suatu saat pecah, timbul mules yang dilanjuti diikuti
oleh pengeluaran janin yang biasanya masih hidup dan normal (Winkjosastro,
2005).
2.5
Penatalaksanaan dan Terapi Abortus
Menurut Mansjoer (2001), penatalaksanaan dan terapi
abortus antara lain :
1. Abortus Iminens
a.
Istirahat baring agar aliran
darah ke uterus bertambah dan rangsang mekanik berkurang.
b.
Periksa denyut nadi dan suhu
badan 2 kali sehari bila pasien tidak panas dan tiap 4 jam bila pasien panas.
c.
Tes kehamilan dapat dilakukan.
Bila hasil negatif, mungkin janin telah mati. Pemeriksaan USG untuk menentukan
apakah janin masih hidup.
d.
Berikan obat penenang, biasanya
fenobarbital 3 x 30 mg. Berikan
preparathematinik misalnya sulfas ferosus
600-1000mg.
e.
Diet tinggi protein dan
tambahan vitamin C.
f.
Bersihkan vulva minimal 2x sehari dengan cairan anti septik untuk mencegah
infeksi terutama saat masih mengeluarkan cairan cokelat.
2. Abortus Insipiens
a.
Bila perdarahan tidak banyak,
tunggu terjadinya abortus spontan tanpa pertolongan selama 36 jam.
b.
Pada kehamilan kurang dari 12
minggu, yang biasanya disertai dengan perdarahan, tangani dengan pengosongan
uterus memakai kuret vakum atau cunam abortus, disusul dengan kerokan memakai
kuret tajam. Suntikkan ergometrin 0,5mg
intramuskuler.
c.
Pada kehamilan lebih dari 12
minggu berikan infus oksitosin 10 IU dalam dektrose
5% 500 ml dimulai 8 tetes permenit dan naikkan sesuai kontraksi uterus
sampai terjadi abortus komplit.
d.
Bila janin sudah keluar, tetapi
plasenta masih tertinggal lakukan pengeluaran plasenta secara manual.
3. Abortus Inkomplit
a.
Bila disertai dengan syok
karena perdarahan, berikan infus cairan NaCl fisiologis atau RL dan secepat
mungkin ditransfusi darah.
b.
Setelah syok diatasi, lakukan
kerokan dengan kuret tajam lalu suntikkan ergometrin 0,2 mg intramuskuler.
c.
Bila janin telah keluar, tetapi
plasenta masih tertinggal lakukan pengeluaran plasenta secara manual.
d.
Berikan antibiotik untuk
mencegah infeksi.
4. Abortus Komplit
a. Bila kondisi pasien baik, berikan
ergometrin 3 x 1 tablet selama 3-5 hari.
b.
Bila pasien anemia berikan
hematinik seperti sulfas ferosus atau
transfusi darah.
c.
Berikan anti biotik untuk
mencegah infeksi.
d.
Anjurkan pasien diet tinggi
protein, vitamin dan mineral.
5. Missed Abortion
a.
Bila kadar fibrinogen normal, segera keluarkan jaringan konsepsi dengan cunam
ovum lalu dengan kuret tajam.
b.
Bila kadar fibrinogen rendah, berikan fibrinogen kering atau segar sesaat
sebelum atau ketika mengeluarkan konsepsi.
c.
Pada kehamilan kurang dari 12
minggu, lakukan pembukaan serviks dengan gagang laminaria selama 12 jam, lalu
dilakukan dilatasi serviks dengan dilatator Hegar,
kemudian hasil konsepsi diambil dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam.
d.
Pada
kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan diet istilbestrol 3 x 5 mg, lalu infus oksitosin : 10
IU dalam dekstrose 5% sebanyak 500 ml
mulai 20 tetes permenit dan naikkan dosis sampai ada kontraksi uterus. Oksitosin dapat diberikan sampai 100 IU
dalam 8 jam. Bila tidak berhasil, ulang infus oksitosin setelah pasien
istirahat satu hari.
e.
Bila tinggi fundus uteri sampai
2 jari bawah pusat, keluarkan hasil konsepsi dengan menyuntik larutan garam 20%
dalam kavum uteri melalui dinding perut.
6. Abortus Habitualis
a.
Memperbaiki keadaan umum.
b.
Pemberian makanan yang
sempurna.
c.
Anjurkan istirahat cukup
banyak.
d.
Larangan koitus dan olahraga
(Winkjosastro, 2005)
2.6
Komplikasi Abortus
Menurut Wiknjosastro (2005), kompliksi yang berbahaya
pada abortus adalah perdarahan, perforasi, infeksi, syok dan payah ginjal akut.
1.
Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari
sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu transfusi darah.
2.
Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama
pada uterus dalam posisi hiperretrofleksi.
Jika terjadi peristiwa itu, penderita perlu diambil dengan teliti. Jika ada
tanda bahaya, perlu segera diselidiki laparatomi dan tergantung dari luas dan
bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi.
3.
Syok
Syok pada abortus biasa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi berat
(syok endoseptik).
4.
Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi atau
pada tiap abortus inkompletus dan telah sering pada abortus buatan yang
dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis. Apabila infeksi menyebar
lebih jauh, terjadilah perioritis umum atau sepsis dengan kemungkinan diikuti
oleh syok.
2.7
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Abortus
2.7.1
Faktor-faktor yang
diteliti
1.
Umur
Kemungkinan abortus pada wanita usia
reproduktif yang mengalami terlambat haid (terlambat haid dengan jangka waktu
lebih dari satu bulan sejak waktu haid terakhir) dan mempunyai satu atau lebih
tanda berikut ini : perdarahan, kaku perut, pengeluaran sebagian produk
konsepsi, serviks yang berdilatasi atau uterus yang lebih kecil dari seharusnya
(Saifuddin, 2002).
Di dalam ukuran umur reproduksi yang
sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan adalah 20-30 tahun, kematian
maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun
ternyata 2-5 kali lebih tinggi
dari pada usia 20-29 tahun, kematian maternal meningkat kembali setelah usia
30-35 tahun (Wiknjosastro, 2005).
Menurut penelitian Zumrotin (2002),
di sembilan kota di Indonesia menunjukkan 58% yang
mengalami abortus berusia lebih dari 30 tahun.
2.
Paritas
Ibu yang mempunyai paritas 2-3 merupakan
paritas paling aman ditinjau dari sudut maternal. Tingginya paritas bisa
menyebabkan terjadinya abortus, paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3)
mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi (Wiknjosastro, 2005).
Dari survei yang dilakukan di India,
diketahui bahwa 20% wanita yang mengalami abortus mempunyai 1 atau 2 anak,
sekitar 32% mempunyai 3-4 anak, dan 41% telah mempunyai lebih dari 5 anak
(Nasrin, 2007).
3.
Pendidikan
Kejadian abortus lebih banyak
ditemukan pada para wanita tingkat pendidikan rendah dibandingkan dengan wanita
dengan tingkat pendidikan tinggi (Nasrin, 2007).
Menurut penelitian Zumrotin (2002),
di sembilan kota di Indonesia menunjukkan 7% abortus
terjadi dikalangan pelajar.
4.
Pekerjaan
Insiden abortus dikalangan yang tidak
menikah sangat tinggi, umumnya terjadi
dikalangan mahasiswa dan wanita pekerja (Nasrin, 2007).
Menurut
penelitian Zumrotin (2002), di sembilan kota di Indonesia menunjukkan 48%
abortus terjadi pada ibu rumah tangga, dan 43% bekerja disektor non domestik.
2.7.2
Faktor yang tidak
diteliti
1.
Status Ekonomi
Pertolongan abortus yang tidak aman
lebih banyak dialami oleh
kelompok masyarakat yang miskin, karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan mereka
untuk membiayai jasa pertolongan profesional, sebaliknya kelompok masyarakat
yang kaya yang dikatakan relatif lebih banyak yang melakukan abortus mempunyai
resiko lebih kecil untuk mendapat pertolongan abortus yang tidak aman. (Nasrin,
2007).
2.
Status Perkawinan
Umumnya yang melakukan abortus adalah
para wanita yang belum menikah. Survei yang dilakukan di sembilan negara
Amerika Latin menemukan 18% komplikasi abortus terjadi pada kelompok yang belum
menikah, di Korea dan Thailand insiden abortus dikalangan yang tidak menikah
sangat tinggi, umumnya terjadi dikalangan mahasiswa dan wanita pekerja, di
Subsahara Afrika abortus lebih sering dilakukan dikalangan wanita yang tidak
menikah, sebaliknya di India abortus umumnya
dilakukan oleh para wanita yang telah menikah. (Nasrin, 2007).