Karya Tulis Ilmiah, Juni 2012
IKA ARINNITA
Hubungan Pendidikan dan Paritas Ibu dengan kejadian BBLR di Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011
xvi + 47 Halaman + 5 Tabel + 7 Lampiran
ABSTRAK
Bayi berat lahir rendah (BBLR) telah didefinisikan
sebagai bayi lahir kurang dari 2.500 gram. WHO memperkirakan hamper semua (98%)
dari 5 juta kematian neonatal di Negara berkembang. Menurut Data Dinas
Kesehatan Kota Palembang, Angka Kematian Bayi (AKB) pada tahun 2007 yaitu 3 per
1000 kelahiran hidup, pada tahun 2008 4 per 1000 kelahiran hidup, dan pada
tahun 2009 sekitar 2 per 1000
kelahiran hidup. Penyebab BBLR adalah penyakit,
usia ibu, keadaan sosial, pendidikan ibu, paritas ibu, faktor janin, faktor
lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan dan
paritas ibu dengan kejadian BBLR di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Mohammad Hoesin
Palembang Tahun 2011. Desain penelitian ini adalah survei analitik dengan
pendekatan cross sectional dimana variabel yang diteliti meliputi pendidikan
dan paritas ibu. Populasi penelitian ini adalah semua ibu yang melahirkan di
Rumah Sakit Umum Pusat Dr Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011 sebanyak 1858
ibu melahirkan dengan besar sampel penelitian 329 ibu melahirkan yang diambil
dengan tekhnik acak sistematik, instrumen penelitian yaitu check list. Analisa data dilakukan secara univariat dan bivariat.
Hasil penelitian ini menunjukan dari 329 ibu didapatkan kejadian BBLR 175 orang
( 53,2%) yang memiliki pendidikan rendah 169 kejadian BBLR (51,4%) sedangkan
paritas tinggi 155 kejadian BBLR (47,1%). Dari statistik uji Chi-Square yang
membandingkan p value dengan tingkat
kemaknaan α = 0.05 menunjukan
bahwa ada hubungan yang bermakna antra
pendidikan p value (0,002) dan paritas ibu p value(0,001) dengan kejadian
BBLR di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
Disarankan bagi petugas kesehatan (bidan) rumah sakit hendaknya peningkatan
kegiatan penyuluhan dengan masyarakat terutama pada ibu agar bisa memahami
kapan mulai masa kehamilan dan mengakhiri kehamilan serta cara mengkonsumsi
gizi yang baik untuk mengurangi kejadian BBLR dan melakukan pemeriksaan kelahiran
bayi kembar agar menjaga kesehatan bayi dan ibu.
Kata Kunci : Kejadian
BBLR
Daftar Pustaka : 24 (2005 –
2011)
MIDWIFERY ACADEMY OF BUDI MULIA
PALEMBANG
Scientific Writing, June 2012
IKA ARINNITA
The relationship
education and maternal parity to the incidence of LBW in General Hospital
Dr Center . Mohammad Hoesin Palembang in 2011
xvi + 47 pages +
5 tables + 7 Attachments
ABSTRACT
Low
Birth Weight (LBW) was defined as infants born weighing less than 2500 grams.
WHO estimates that nearly all (98%) of the five million neonatal deaths in
developing countries. According to City Health if Palembang Departement, infant
mortality rate (IMR) in the year 2007 is 3 per 1000 live births, in 2008 four
per 1000 live births, and in 2009 approximately 2 per 1000 live births. The
cause of LBW is a disease, maternal age, social include maternal factors,
maternal age, social circumstances, maternal education, maternal parity, fetal
factors, environmental factors. This study aims to determine the relationship of
education and maternal parity the incidence of LBW in the General Hospital
Dr Center .
Mohammad Hoesin Palembang in 2011. This study uses the analitytical Cross
Sectional Survey. The study population wass all mothers who gave birth in
public hospitals center Dr. Mohammad Hoesin Palembang in 2011 were 1858 mothers
gave birth with a large sample of 329 studies of maternal taken by systematic
random sampling, is research instrumen Check List. Data analysis was perfomed
univariate and bivariate. The results of this study show from 329 mothers of
LBW was found 175 people (53,2%) which has a low education 169 LBW (51,4%)
while has a high parity 155 LBW (47,1%). From Chi-Square test statistic that
compares the p value with significance level α = 0,05 showed a significant correlation
between of education, where the p value = 0,002, parity maternal 0,001 with LBW
in the general hospital center Dr. Mohammad Hoesin Palembang in 2011. It is
recommended for health workers (midwifes) hospitals should increase outreach
activities with communities, especially in the mother in order to understand
when to start during pregnancy and terminating the pregnancy and how to consume
good nutrition to reduce the inciden ce of LBW and examination of twin births in
order to maintain the health of infants and mothers.
Keywords : Genesis LBW
Bibliography : 24 (2005 - 2011)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Secara global dikemukakan bahwa
selama tahun 2000, terdapat 4 juta kematian neonatus (3 juta kematian neonatal
dini dan 1 juta kematian neonatal lanjut). Hampir 99% kematian tersebut terjadi
di negara berkembang. Kematian tertinggi di Afrika (88 per seribu kelahiran),
sedangkan di Asia angka kematian perinatal mendekati 66 bayi dari 1.000
kelahiran hidup. Bayi kurang bulan dan bayi berat lahir rendah adalah satu dari
tiga penyakit utama kematian neoantus (Rahayu, 2009).
Berdasarkan perkiraan
organisasi kesehataan dunia World Health Organization (WHO) hampir semua (98%)
dari Lima juta kematian neonatal terjadi di Negara berembang. Lebih dari dua
pertiga kematian itu terjadi pada priode neonatal dini. Umumnya karena Berat
Badan lahir kurang dari 2500 gram.Menurut WHO 17% dari 25 juta persalinan pertahun adalah Bayi
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan hampir semua terjadi di Negara
berkembang (Dinkes, 2009).
Angka
kematian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah denan daerah yang
lain, yaitu berkisar antara 9% - 30%, hasil studi di 7 daerah multicenter
diperoleh angka BBLR dengan target
rentang 2.1% - 17,2%. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang di tetapkan
pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia sehat 2010 yakni maksimal
7% (Pantiawati, 2010).
Di Indonesia
berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2008, angka kematian sebesar 20 per 1000 kelahiran
hidup. Dalam 1 tahun, sekitar 89.000 bayi usia 1 bulan menigal. Penyebab utama
kematian neonatal adalah Bayi Badan Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 29%. Insiden
BBLR di Rumah Sakit di Indonesia berkisar 20%. Di pusat rujukan regional Jawa
barat setiap tahunnya antara 20- 25% kelahiran BBLR, Sedangkan di daerah perdesaan
10,5%. Di derah perdesaan
sebagian besar BBLR menigal dalam masa
neonatal. Sementara di level II ditingkat kabupaten di Jawa Barat
sebagian besar Bay Berat Lahir Sangat Rendah BBLR (Propil Kesehatan Indonesia
2008).
Secara umum dari
tahun ketahun terjadinya penurunan AKB. Hasil Survei Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2007 di peroleh estimasi AKB di Indonesia sebeasar 34
per 1.000 kelahiran hidup. Perlu di perhatikan bahwa pengukuran angka kematian
SDKI tersebut mengestimasikan Angka Kematian Bayi dalam periode 5 tahun
terakhir sebelum survei, misalnya pada SDKI tahun 2007 di peroleh AKB untuk
priode 5 tahun sebelumnya yaitu tahun 2003-2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran
hidup (Profil Kesehatan Indonesia 2010).
Pada saat ini Angka kematian Ibu dan Angka Kematian Perinatal
di Indonesia masih sangat tinggi. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (1994) Angka kematian Ibu adalah 390 per 100.000 kelahiran hidup dan
Angka Kematian Perinatal adalah 40 per 1.000 kelahiran Hidup (Sarwono, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian
Apriyanti (2009), hasil analisis univariat, diketahui jumlah ibu yang
berpendidikan tinggi sebanyak 180 atau 50,7 % dan yang berpendidikan rendah
sebanyak 175 atau 49,3 %. Berdasarkan analisis bivariat, diketahui ibu yang
berpendidikan rendah sebanyak 63 atau 36 % yang mengalami kejadian BBLR dan
dari 175 ibu yang berpendidikan tinggi terdapat 37 atau 20,6 % yang mengalami
BBLR.
Berdasarkan hasil
penelitia Astuti (2008), hasil analisis univariat didapatkan Ibu yang memiliki
paritas tinggi sebesar 246 responden (71,1%) dan pada ibu yang memiliki paritas
rendah sebesar 100 responden (28,9%). Dari hasil uji Chi-Square menunjukkan ada
hubungan bermakna antara paritas ibu bersalin dengan kejadian BBLR.
Tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif
dan berkesinambungan. Salah satu penyebab terjadinya BBLR yaitu status gizi ibu yang tidak baik. Latar
belakang pendidikan seseorang berhubungan dengan pengetahuan, jika pengetahuan
gizi ibu baik maka diharapkan status gizi ibu dan balitanya jug baik dan
sebaliknya (Anonim, 2008).
Berdasarkan data Dinas kesehatan Propinsi Sumatra Selatan, jumlah kematian
bayi baru lahir pada tahun 2005 di ketahui dari 81 AKB per 27.748 kelahiran
hidup, 16 di antaranya disebabkan BBLR dan 20 kematian bayi karena premature,
sehingga dapat disimpulkan bahwa sekitar 44,4% kematian bayi di Palembang
disebabkan BBLR (Subdin Kesga Dinkes Palembang, 2005). Tahun 2008 sebesar 621
dari 156.348 kelahiran, 277 (36,5%) disebabkan oleh BBLR, BBLR juga menjadi penyebab nomor satu kematian pada
bayi baru lahir (Subdin Kesga Provinsi Sumsel, 2008).
Menurut Data Dinas
Kesehatan kota Palembang, Angka Kematian Bayi (AKB) pada tahun 2007 yaitu per
1000 kelahiran hidup, pada tahun 2008 4 per 1000 kelahiran hidup dan pada tahun
2009 sekitar 2 per 1000 kelahiran hidup (Dinkes Kota Palembang, 2010).
Penyebab terbanyak
terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur, faktor ibu yang lain adalah umur,
paritas dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan
ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR (Pantiawati,
2010).
Dari data Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang angka kejadian BBLR pada tahun 2008 adalah 233
kasus BBLR dari laporan 2.439 bayi yang
dilahirkan. Pada tahun 2009 sebesar 313 kasus BBLR dari 2.400 bayi yang
dilahirkan, pada tahun 2010 adalah 219 kasus BBLR dari 1476 bayi yang dilahirkan, pada
tahun 2011 adalah 329 kasus BBLR dari 1858 bayi yang dilahirkan masih tinggi angka
kejadian BBLR di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang salah
satu indikator yang di lakukan meningkatnya
pelayanan kesehatan ibu dan anak (Medical Record, 2011).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai BBLR, karena keterbatasan penulis maka penulis hanya
mengambil variabel yaitu pendidikan dan paritas ibu dengan judul “Hubungan Pendidikan dan Paritas Ibu
dengan Kejadian BBLR di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Tahun 2011”.
1.2. Rumusan Masalah
Adakah Hubungan Pendidikan dan Paritas Ibu dengan
Kejadian BBLR di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun
2011?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Diketahuinya
hubungan Pendidikan dan
Paritas Ibu dengan Kejadian BBLR di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Tahun 2011.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.
Diketahuinya distribusi
frekuensi kejadian BBLR di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Tahun 2011.
2.
Diketahuinya distribusi frekuensi Pendidikan dengan kejadian BBLR di Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
3.
Diketahuinya distribusi frekuensi paritas ibu dengan kejadian BBLR di Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
4.
Diketahuinya hubungan antara Pendidikan dengan kejadian BBLR di Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
5.
Diketahuinya hubungan antara paritas ibu dengan kejadian BBLR di Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1
Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan agar penulis
mendapat pengetahuan, pengalaman, memperluas wawasan dan dapat mengaplikasikan
data kuliah metodologi penelitian dan biostatistik.
1.4.2
Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian yang dilaksanakan ini diharapkan dapat
menjadi bahan referensi bagi mahasiswa dan dapat menambah bahan kepustakaan di
Akademi Kebidanan Budi Mulia Palembang, serta dapat digunakan data dasar untuk
penelitian selanjutnya.
1.4.3
Bagi Instansi Kesehatan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai masukan bagi petugas kesehatan khususnya di Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
1.5.
Ruang Lingkup
Penelitian ini dibatasi dengan melihat hubungan pendidikan
dan paritas ibu terhadap kejadian BBLR dengan responden semua ibu bersalin di
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2011.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Dasar Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
2.1.1 Pengertian
Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari
2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan (Atikah, 2010)
Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah neonatus dengan berat badan lahir pada saat kelahiran kurang dari 2500 gram
(sampai dengan 2499 gram) tanpa memandang masa kehamilan (Ambarwati, 2009).
2.1.2 Etiologi BBLR
Penyebab
terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang lain
adalah umur, paritas, jarak kehamilan, pendidikan ibu. dan lain-lain. Faktor
plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan kembar ganda, serta faktor janin
juga merupakan penyebab terjadinya BBLR dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu :
1.
Faktor Ibu
a.
Penyakit
Pendarahan
antepartem, anemia berat, hipertensi, preeklamnsi berat, eklamnsi, infeksi
selama kehamila (infeksi kandung kemih dan ginjal). Menderita
penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual, HIV/AIDS, dan malaria.
b.
Usia ibu
1.
Usia < 16 tahun
2.
Usia > 35 tahun
3.
Multigravida yang jarak kelahirannya
terlalu dekat
c.
Keadaan sosial ekonomi
1.
Golongan social ekonomi rendah
2.
Perkawinan yang tidak syah
d. Pendidikan ibu
Angka kejadian
BBLR tertinggi ialah pada ibu yang memilki pendidikan Rendah.
e.
Sebab lain
1.
Ibu yang perokok
2.
Ibu perminum alkohol
3.
Ibu pecandu narkotik
2.
Faktor Janin
a.
Hidramnion
b.
Kehamilan ganda
c.
Kelainan kromsom
d.
Radiasi infeksi janin kronik
3.
Faktor Lingkungan
a.
Tempat tinggal daratan tinggi
b.
Terkena Radiasi
c.
Zat-zat racun
(Prawirohardjo, 2007)
2.1.3 Klasifikasi BBLR
1.
Menurut harapan hidupnya :
a.
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), berat
lahir 1500 – 2500 gram
b.
Bayi Berat Lahir
Sangat Rendah (BBLSR), berat lahir 1000
– 1500 gram
c.
Bayi
Berat Lahir Ekstrim Rendah (BBLER), berat lahir kurang dari 1000 gram
2.
Menurut masa gestasinya :
a.
Prematuritas murni : masa gestesinya kurang dari 37 minggu
dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi berat atau
disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa masa kehamilan (NKB-SMK).
b.
Dismaturitas : bayi lahir dengan berat
badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Berat bayi
mengalami retardasi pertumbuhan intrauterine dan merupakan bayi yang kecil
untuk Masa kehamilannya (KMK).
(Atikah, 2010)
2.1.4 Tanda dan Karakteristik BBLR
Menurut Atikah Proverawati, 2010, Bayi yang lahir dengan berat
badan rendah mempunyai ciri-ciri :
1.
Umur kehamilan < 37 minggu
2.
Berat badan < 2.500 gram
3.
Panjang badan < 46 cm, lingkar
kepala < 33 cm
4.
Rambut laguno masih banyak
5.
Jaringan lemak subkutan tipis atau
kurang
6.
Tulang rawan daun telinga belum sempurna
pertumbuhannya
7.
Tumit mengkilap, telapak kaki halus
8.
Genitalia belum sempurna, labia minora
belum tertutup oleh labia mayora, klitoris menonjol (pada bayi perempuan). Testis
belum turun ke dalam skrotum, pigmentasi dan rugeu pada skrotum kurang (pada
bayi laki-laki)
9.
Tonus otot lemah sehingga bayi kurang
aktif dan pergerakannya lemah
10.
Fungsi syaraf yang belum atau tidak
efektif dan tangisnya lemah
11.
Jaringan kelenjer mammae masih kurang
akibat pertumbuhan otot dan jaringan lemak masih kurang
12.
Verniks kaseosa tidak ada atau sedikit
bila ada
2.1.5 Komplikasi
2.1.5.1 Hipotermia
Hipotermi dapat terjadi karena kemampuan untuk
mempertahankan panas dan kesanggupan menambah produksi panas sangat terbatas
karena pertumbuhan otot-otot yang belum cukup memadai, lemak subkatun yang
sedikit, belum matangnya sistem saraf pengatur suhu tubuh, luas permukaan tubuh
relatif lebih besar dibading dengan berat badan sehingga mudah kehilangan panas
(Pantiawati, 2010).
2.1.5.2 Hipolikemia
Bayi aterm dapat mempertahankan kadar gula darah 50-60
mg/dL selama 72 jam pertama, sedangkan bayi berat badan lahir rendah dalam
kadar 40 mg/dL. Hal ini disebabkan cadangan glikogen yang belum mencukupi
(Pantiawati, 2010).
2.1.5.3 Perdarahan intracranial
Perdarahan intracranial dapat terjadi karena trauma
lahir, disseminated intravascular coagulopathy atau
trombositopenia idiopatik. Matriks germinal epidimal yang kaya pembuluh darah
merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap perdarahan selama minggu pertama
kehidupan (Pantiawati, 2010).
2.1.6
Penatalaksanaan
BBLR
2.1.6.1 Mempertahankan Suhu Tubuh Bayi
Bayi Prematur akan cepat mengalami kehilangan panas
badan dan menjadi hipotermia, karena pusat pengaturan panas badan belum
berfungsi dengan baik, metabolismenya rendah, dan permukaan badan relatif luas.
Oleh karena itu, bayi prematur harus dirawat di dalam inkubator sehingga panas
badannya mendekati dalam rahim. Bila belum memiliki inkubator, bayi prematur
dapat dibungkus dengan kain dan disampingnya ditaruh botol yang berisi air
panas atau menggunakan metode kangguru yaitu perawatan bayi baru lahir seperti
bayi kanguru dalam kantung ibunya (Pantiawati, 2010)
Bayi dengan berat badan lahir
rendah, dirawat didalam inkubator. Inkubator yang modern dilengkapi dengan alat
pengatur suhu dan kelemba agar bayi dapat mempertahankan suhu tubuhnya yang
normal, alat oksigen yang dapat diatur, serta kelengkapan lain untuk mengurangi
kontaminasi bila incubator dibersihkan. Kemampuan bayi BBLR dan bayi sakit
untuk hidup lebih besar bila mereka dirawat pada atau mendekati suhu lingkungan
yang netral.
Suhu ini ditetapkan dengan
mengatur suhu permukaan yang terpapar radiasi, kelembaban relatif, dan aliran
udara sehingga produksi panas (yang diukur dengan konsumsi oksigen) sesedikit
mungkin dan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan dalam batas normal. Suhu
inkubator yang optimum diperlukan agar panas yang hilang dan konsumsi oksigen
terjadi minimal sehingga bayi telanjang pun dapat mempertahankan suhu tubuhnya
sekitar 36,50 – 370oC. tingginya suhu lingkungan ini tergantung dari
besar dan kematangan bayi. Dalam keadaan tertentu bayi yang sangat prematur
tidak hanya memerlukan inkubator untuk mengatur suhu tubuhnya tetapi juga
memerlukan pleksiglas penahan panas atau topi maupun pakaian (Pantiawati, 2010)
Prosedur perawatan dapat
dilakukan melalui "jendela" atau "lengan baju" : Sebelum
memasukkan bayi ke dalam inkubator, inkubator terlebih dahulu dihangatkan,
sampai sekitar 29,4°C, untuk bayi dengan berat 1,7 kg dan 32,2°C untuk bayi yang
lebih kecil. Bayi dirawat dalam keadaan telanjang, hal ini memungkinkan
pernafasan yang adekuat, bayi dapat bergerak tanpa dibatasi pakaian, observasi
terhadap pernafasan lebih mudah. Mempertahankan kelembaban nisbi 40-60%
diperlukan dalam membantu stabilisasi suhu tubuh yaitu dengan cara sebagai
berikut:
1.
Mengurangi kehilangan panas pada suhu
lingkungan yang rendah
2.
Mencegah kekeringan dan iritasi pada
selaput lender jaan nafas terutama pada pemberian oksigen dan selama pemasangan
intubasi endotrakea atau nasotrakea
3.
Mengencerkan sekresi yang kental serta mengurangi kehilangan
cairan insensible dari paru.
Pemberian oksigen untuk mengurangi bahaya hipoksia dan
sirkulasi yang tidak memuaskan harus berhati-hati agar tidak terjadi hiperoksia
yang dapat menyebabkan fibroplasia retrolental dan fibroplasias paru. Bila
mungkin pemberian oksigen dilakukan melalui tudung kepala, dengan alat CPAP
(Continous Positive Airway Pressure) atau dengan pipa endotrakela untuk
pemberian konsentrasi oksigen yang ama dan stabil (Pantiawati, 2010)
Pemantauan
tekanan oksigen (pO2) arteri pada bayi yang mendapat oksigen harus
dilakukan terus menerus agar porsi oksigen dapat diatur dan disesuaikan
sehingga bayi terhindar dari bahaya hipoksia aupun hiperoksia. Dalam pemantauan
oksigen yang efektif dapat pula digunakan elektroda oksigen melalui kulit
secara rutin di klinik. Analisa gas darah kapiler tidak cukup untuk menetapkan
kadar oksigen dalam pembuluh darah arteri. Seandainya tidak ada inkubator,
pengaturan suhu dan klembaban dapat diatur dengan memberkan sinar panas,
selimut, lampu panas, bantalan panas, dan botol air hangat, disertai dengan
pengaturan suhu dan kelembaban ruangan. Mungkin pula diperlukan pemberian
oksigen melalui topeng atau pipa intubasi. Bayi yang berumur beberapa hari atau
minggu harus dikeluarkan dari inkubator apabila keadaan bayi dalam ruangan
biasa tidak mengalami perubahan suhu, warna kulit, aktivitas, atau akibat
buruknya
(Pantiawati,
2010)
2.1.6.2 Pengaturan Dan Pengawasan Intake Nutrisi
Pengaturan dan pengawasan intake nutrisi dalam hal ini
adalah menentukan pilihan susu, cara pemberian dan jadwal pemberian yang sesuai
dengan kebutuhan bayi BBLR (Pantiawati, 2010).
ASI (Air Susu Ibu) merupakan pilihan pertama jika bayi
mampu mengisap. ASI merupakan makanan yang paling utama, sehingga ASI adalah pilihan yang harus didahulukan untuk diberikan. ASI juga dapat
dikeluarkan dan diberikan pada bayi yang tidak cukup mengisap. Bila faktor
menghisapnya kurang maka ASI dapat diperas dan diminumkan dengan sendok
perlahan-lahan atau dengan memasang sonde ke lambung. Permulaan cairan yang
diberikan sekitar 200 cc/ kgBB/ hari. Jika ASI tidak ada atau tidak mencukupi
khususnya pada bayi BBLR dapat digunakan susu formula yang k omposisinya mirip
ASI atau susu formula khusus bayi BBLR.
Cara pemberian makanan bayi BBLR
harus diikuti tindakan pencegahan khusus untuk mencegah terjadinya regurgitasi
dan masuknya udara dalam usus. Pada bayi dalam inkubator dengan kontak yang
minimal, tempat tidur atau kasur inkubator harus diangkat dan bayi dibalik pada
sisi kanannya. Sedangkan pada bayi lebih besar dapat
diberi makan dalam posisi dipangku.
Pada bayi BBLR yang lebih kecil,
kurang giat dan mengisap dan sianosis ketika minum melalui botol atau menetek
pada ibunya, makanan diberikam melalui Naso Gastric Tube (NGT). Jadwal
pemberian makanan disesuaikan dengan kebutuhan dan berat badan bayi BBLR.
Pemberian makanan interval tiap jam dilakukan pada bayi dengan Berat Badan
lebih rendah (Pantiawati, 2010)
2.1.6.3 Pencegahan Infeksi
Infeksi adalah masuknya bibit penyakit atau kuman kedalam
tubuh, khususnya mikroba. Bayi BBLR sangat mudah mendapat infeksi. Infeksi
terutama disebabkan oleh infeksi nosokomial. Rentan terhadap infeksi ini
disebabkan oleh kadar immunoglobulin serum pada bayi BBLR masih rendah, aktivitas
bakterisidal neotrofil, efek sitotoksik limfosit juga masih rendah dan fungsi
imun belum berpengalaman.
Infeksi lokal bayi cepat menjalar
menjadi infeksi umum. Tetapi diagnosis dini dapat ditegakkan jika cukup waspada
terhadap perubahan (kelainan) tingkah laku bayi sering merupakan tanda infeksi
umum. Perubahan tersebut antara lain: malas menetek, gelisah, letargi, suhu
tubuh meningkat, frekuensi pernapasan meningkat, muntah, diare, dan berat badan
mendadak turun.
Fungsi perawatan disini adalah memberi
perlindungan terhadap bayi BBLR dari bahaya infeksi. Oleh karena itu, bayi BBLR
tidak boleh kontak dengan penderita infeksi dalam bentuk apapun. Digunakan
masker dan baju khusus dalam penanganan bayi, perawatan luka tali pusat,
perawatan mata, hidung, kulit, tindakan aseptis dan antiseptik alat-alat yang
digunakan, isolasi pasien, jumlah pasien dibatasi, rasio perawat pasien ideal,
mengatur kunjungan, menghindari perawatan yang yang terlalu lama, mencegah
timbulnya asfiksia dan pemberian antibiotik yang tepat. Bayi prematur mudah
sekali terkena infeksi, karena daya tahan tubuh yang masih lemah, kemampuan
leukosit masih kurang, dan pembentukan antibodi belum sempurna. Oleh karena
itu, upaya preventif dapat dilakukan sejak pengawasan antenatal sehingga tidak
terjadi persalinan prematuritas BBLR
(Pantiawati, 2010).
2.1.6.4 Penimbangan Berat Badan
Perubahan berat badan mencerminkan kondisi
gizi atau nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan tubuh, oleh sebab
itu penimbangan berat badan harus dilakukan dengan ketat (Pantiawati, 2010).
2.1.6.5 Pemberian Oksigen
Ekspansi paru yang buruk
merupakan masalah serius bagi bayi preterm BBLR, akibat tidak adanya alveoli
dan surfaktan. Konsentrasi OZ yang diberikan sekitar 30-35% dengan menggunakan
head box, konsentrasi OZ yang tinggi dalam masa yang panjang akan menyebabkan
kerusakan pada jaringan retina bayi yang dapat menimbulkan kebutaan
(Pantiawati, 2010).
2.1.6.6 Pengawasan Jalan Nafas
Jalan nafas merupakan jalan udara melalui hidung,
pharing, trachea, bronchiolus, bronchiolus respiratorius, dan duktus alveoleris
ke alveoli Terhambatnya jalan nafas dapat menimbulkan asfiksia, hipoksia dan
akhirnya kematian. Selain itu bayi BBLR tidak dapat beradaptasi dengan asfiksia
yang terjadi selama proses kelahiran sehingga dapat lahir dengan asfiksia
perinatal.
Bayi BBLR berisiko mengalami serangan apneu dan
defisiensi surfakatan, sehingga tidak dapat memperoleh oksigen yang cukup yang
sebelumnya diperoleh dari plasenta. Dalam kondisi seperti ini diperlukan
pembersihan jalan nafas segera setelah lahir (aspirasi lendir), dibaringkan
pada posisi miring, merangsang pernapasan dengan menepuk atau menjentik tumit.
Bila tindakan ini gagal, dilakukan ventilasi, intubasi endotrakheal, pijatan
jantung dan pemberian oksigen dan selama pemberian intake dicegah terjadinya
aspirasi. Dengan tindakan ini dapat dicegah sekaligus mengatasi asfiksia
sehingga memperkecil kematian bayi BBLR (Pantiawati, 2010).
2.1.7
Prognosis BBLR
Prognosis bayi berat lahir rendah ini tergantung dari
berat ringannya masalah perinatal, misalnya masa gestasi (makin
muda masa gestasi dan makin rendah berat bayi, maka makin tinggi angka
kematian), asfiksia/iskemia otak, sindroma gangguan pernapasan,
perdarahan intra ventrikuler, displasia bronkopulmonal, retrolental
fibroplasia, infeksi, gangguan metabolik, (asidosis,
hipoglikemia, hiperbilirubinema). Prognosis ini juga tergantung dari
keadaan sosial ekonomi, pendidikan orang tua dan perawatan pada saat kehamilan,
persalinan dan postnatal (pengaturan suhu lingkungan, resusitasi makanan,
mencegah infeksi, mengatasi gangguan pernapasan, asfiksia, hiperbilirubinema,
hipoglikemia (Sarwono, 2009).
2.2
Faktor-faktor yang diteliti yang
berhubungan dengan kejadian BBLR
2.2.1
Pendidikan
Pendidikan adalah suatu kegiatan proses
pelajaran untuk mengembangakan untuk mengembangkan atau meningkatkan
pengetahuan tertentu sehinga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri
(Notoamodjo,2010).
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadaian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang di perlukan dirinya dan masyarakat (Wikipedia, 2012)
Tingkat pendidikan mempunyai hubungan
yang eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
semakin mudah menerima informasi yang diterima. konsep hidup sehat secara
mandiri, kreatif dan berkesinambungan. Salah satu penyebab terjadinya BBLR
yaitu status gizi ibu yang tidak baik. Latar belakang pendidikan seseorang ibu
sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan ibu semakin tinggi pendidikan
ibu maka semakin mudah ibu untuk mendapatkan informasi.
Jika tingkat pendidikan ibu rendah maka
sulit untuk mendapatkan informasi
tentang pemenuhan asupan gizi ibu selama kehamilan, asupan gizi yang kurang sangat
berpengaruh terhadap petumbuhan janin kurangnya gizi pada saat hamil dapat
menyebabkan lahirnya bayi berat badan lahir rendah (BBLR). Hal ini jelas
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan janin dalam kandunganya. selain itu
dengan pendidikan dan informasi cukup yang dimiliki ibu diharapkan pelaksanaan
keluarga berancana dapat berhasil sehingga dapat membatasi jumlah anak, menjarangkan
kehamilan, dan dapat menunda kehamilan jika menikah pada usia muda (Riyanti ,2007).
Pendidikan banyak menentukan sikap dan tindakan dalam menghadapi
berbagai masalah misalnya kesedian menjadi peserta keluarga, termasuk
pengaturan makanan bagi ibu hamil untuk mencegah timbuinya bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR) bahwa ibu mempunyai peranan yang cukup penting dalam
kesehatan dan pertumbuhan, akan dapat ditunjukan oleh kenyataan berikut, anak-
anak dan ibu mempunyai latar belakang. Pendidikan lebih tinggi akan mendapat
kesempatan hidup serta tumbuh kembang yang baik (Rahayu, 2008).
2.2.2
Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang telah di lahirakan
seorang ibu baik lahir maupun mati (Prawirohardjo, 2007).
Paritas adalah frekuensi ibu pernah melahirkan anak baik
lahir hidup maupun lahir mati (Salmah,2006).
Paritas adalah Frekuensi ibu pernah melahirkan baik lahir
hidup maupun mati (Wikipedia, 2012).
Kehamilan grande multigravida (paritas tinggi)
menyebabkan kemunduran daya lentur (elastisitas) jaringan yang sudah berulang
kali direngangkan kehamilan. Sehingga cenderung untuk timbul kelainan letak
ataupun kelainan pertumbuhan plasenta dan pertumbuhan janin sehinga melahirkan
bayi berat badan lahir rendah. Hal ini dapat mempengaruhi suplai gizi dari ibu
ke janin dan semakin tinggi paritas maka resiko untuk melahirkan BBLR semkin
tinggi (Astuti, 2008).
Paritas rendah minimal 3 anak berarti ibu sudah
menerapkan keluarga kecil bahagia dan
sejahtera sebagai salah satu program pembangunan kesehatan dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Paritas yang tinggi akan berdampak pada timbulnya berbagai masalah kesehatan
baik ibu dan bayi yang dilahirkan, salah satu dampak kesehataan yang mungkin
timbul paritas tinggi adalah ganguan pertumbuhan janin sehinga melahirkan bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan pendarahaan saat persalinan karena
keadaan rahim biasanya sudah lemah dikarnakan oleh alat-alat reproduksi yang
sudah menurun sehingga sel-sel otot mulai melemah dan bagian tubuh lainya sudah menurun sehinga dapat menyebabkan dan meningkatkan
kejadiaan BBLR. hasil uji statistick
menunjukan bahwa paritas merupakan faktor resiko tinggi penyebab BBLR, dimana
ibu dengan paritas > 3 anak akan beresiko 2 kali melahirkan BBLR (Zaenab,
2006).
2.3
Penelitian Terkait
2.3.1
Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian (Mawarda, 2007) hasil analisa
univariat, diketahui jumlah ibu yang berpendidikan tinggi sebanyak 33 dan yang
perpendidikan rendah sebanyak 63 atau berdasarkan analisa bivariat, diketahui
ibu yang berpendidikan rendah sebanayk 63 orang yang mengalami kejadian BBLR 26
orang dan dari 33 ibu yang perpendidikan tinggi terdapat 10 yang mengalami
BBLR. Dari uji stasistik di dapatkan P
value 0,015 < a 0,05 dengan demikian dapat disimpulkan ada hubungan yang
bermakna antara pendidikan dan BBLR.
Berdasarkan penelitan Sudiyen (2007), hasil analisa
univariat, diketahui jumlah ibu yang berpendidikan tinggi sebanyak 134
atau dan yang berpendidikan rendah
sebanyak 233. Berdasarkan analisa bivariat, diketahui ibu yang berpendidikan
rendah 115 yang mengalami kejadian BBLR
dari 233 ibu yang berpendidikan tinggi terdapat 29 yang mengalami
kejadian BBLR.
Berdasarkan hasil penelitian Apriyanti (2009), hasil analisa
univariat, diketahui jumlah ibu yang berpendidikan tinggi sebanyak 180 dan yang
berpendidikan rendah sebanyak 175
Berdasarkan analisa bivariat, diketahui
ibu yang berpendidikan rendah sebanyak 63 atau yang mengalami BBLR dan
dari 175 ibu yang berpendidikan tinggi terdapat 37 atau yang mengalami BBLR.
2.3.2
Paritas
Hasil
penelitian Zaenab (2006), menunjukkan sebagian besar ibu yang melaksanakan
persalinan dengan paritas rendah minimal 3 anak berarti ibu saudah menerapkan
keluarga kecil bahagia dan sejahtera sebagai salah satu program pembangunan
kesehatan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Paritas tinggi
akan berdampak pada timbulnya berbagai masalah kesehatan baik ibu dan bayi yang
dilahirkan, salah satu dampak kesehatan yang mungkin timbul paritas tinggi
adalah kejadian BBLR, hasil uji statistick menunjukkan bahwa paritas merupakan
faktor resiko tinggi penyebab BBLR, di mana ibu dengan paritas > 3 anak akan
beresiko 2 kali melahirkan BBLR.
Berdasarkan hasil penelitian Apriyanti (2009), kejadian BBLRR di bagi dua kelompok yaitu
kelompok melahirkan BBLR ( < 2.500
gr) dan tidak BBLR ( 2500 gr). Dari uji statistik di dapatkan kan BBLR P value 0,008 < α 0,05 dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara paritas dan BBLR (Apriyanti, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Astuti (2008), hasil
analisa univariat didapatkan ibu yang memiliki paritas tinggi sebanyak 246
responden dan pada ibu yang memiliki paritas rendah sebanyak 100 responden,
dari hasil uji chi-square ada
hubungan bermakna antara paritas ibu bersalin dengan kejadian BBLR.