BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Menurut data WHO (World Health Organization),
sebanyak 99% kematian ibu akibat masalah persalinan atau kelahiran yang terjadi
di negara-negara berkembang (Manuaba, 1998: 8). Rasio kematian ibu di
negara-negara berkembang merupakan yang tertinggi dengan 450 kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup jika dibandingkan dengan rasio kematian ibu di
negara-negara maju dan 51 negara persemakmuran (LKMB Antara, 2007).
Menurut penelitian WHO (World Health Organization)
di seluruh dunia pada tahun 1996 diperkirakan dari 585.000 pada setiap tahunnya
meninggal pada saat melahirkan atau persalinan. Di Asia Selatan, wanita
berkemungkinan 1:18 meninggal akibat kehamilan atas persalinan. Selama
kehidupannya, di banyak negara Afrika 1:14 sedangkan di Amerika Utara hanya
1:6,366. Lebih dari 50% kematian di negara berkembang sebenarnya dapat dicegah
dengan teknologi yang ada serta biaya yang relatif rendah (Syaifuddin, 2006).
Pada tahun 1988, kematian maternal di Indonesia 450 per
100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut
tertinggi di ASEAN (5-142 per 100.000) dan 50-100 lagi lebih tinggi dari angka kematian internal di negara
maju (http://majalah-farmacia.com,
2008).
Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi baru
lahir (AKBBL) di Indonesia saat ini
masih jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015 sesuai dengan kesepakatan sarana pembangunan
milineum. Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003,
AKI di Indonesia menunjukkan angka 307/100.000 kelahiran hidup (KH). Jauh di
atas target AKI untuk Milennium Development Goal (MDG) yang ditetapkan
WHO sebesar 102/100.000 kelahiran hidup, sementara AKBBL di Indonesia mencapai
35/100 kelahiran hidup atau dua kali lebih besar dari target WHO sebesar 15/100
kelahiran hidup (Depkes, 2007).
Pada tahun 2005 sebanyak 536.000 perempuan meninggal
dunia akibat masalah persalinan, lebih rendah dari jumlah kematian ibu tahun
1990 yang sebanyak 576.000 (Antara, 2007).
Namun menurut Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari
angka kematian ibu (AKI), berhasil diturunkan dari 270 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2004.
AKI kota Palembang berdasarkan Laporan Indicator
Database 2005 UNFPA 6th Country Programme adalah 317 per
100.000 kelahiran, lebih rendah dari AKI populasi Sumsel sebesar 567 per
100.000 kelahiran jumlah kematian ibu tahun 2006 di kota Palembang sebanyak 15
orang dengan penyebabnya yaitu eklampsia, HPP, stroke, gagal ginjal/plasenta
acreta, emboli air ketuban, post SC, kelainan jantung dan lain-lain. (Sumber
Data Subdin Kesehatan Keluarga, 2006), sedangkan yang diharapkan tahun 2010
adalah 125/100.000 kelahiran hidup (Sumber Data Depkes) (Profil Dinkes Kota
Palembang, 2006).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, penyebab
langsung kematian ibu diantaranya adalah perdarahan (28%), eklampsi (24%),
infeksi (11%) partus lama (5%) dan abortus (5%) (SKRT, 2001).
Solusio plasenta merupakah salah satu penyebab
perdarahan ante partum yang memberikan konstribusi terhadap kematian maternal dan
perinatal di Indonesia
(http://majalah-farmacia.com, 2008).
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal
pada korpus uteri yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin
dilahirkan (http://majalah-farmacia.com,
2008).
Kurun reproduksi sehat adalah usia 20-35 tahun. Usia kurang dari 20
tahun atau lebih dari 35 tahun meningkatkan resiko terjadinya komplikasi dalam
kehamilan salah satunya solusio plasenta, sedangkan faktor paritas lebih banyak
dijumpai pada multi daripada primi. Holomer mencatat bahwa lebih dari 83 kasus solusio plasenta dijumpai 45 multi dan 18 primi (Suyono, 2008 dan Mochtar, 1998).
Peran bidan sangat penting dalam mengetahui tanda dan penanganan
dari HAP khususnya solusio plasenta, meskipun bukan wewenang seorang bidan
tetapi, solusio plasenta merupakan komplikasi pada ibu hamil yang harus
diketahui bidan. Karena banyaknya angka kematian ibu hamil dan bersalin
sehingga kualitas bidan harus ditingkatkan demi kesejahteraan ibu dan anak.
Dengan semua uraian di atas penulis tertarik untuk mengambil judul “Hubungan
antara Umur dan Paritas dengan Kejadian Solusio Plasenta di Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
1.2
Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara umur ibu dan paritas dengan kejadian solusio plasenta di Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara umur ibu dengan paritas dengan
kejadian solusio plasenta di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Palembang tahun 2007.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.
Untuk mengetahui hubungan
antara umur ibu dengan kejadian solusio plasenta pada ibu hamil di Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
2.
Untuk mengetahui hubungan
antara paritas dengan kejadian solusio plasenta pada ibu hamil di Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2007.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman dalam menerapkan ilmu yang didapat selama belajar di pendidikan
kelahan praktek yang nyata.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi khususnya
bagi mahasiswi Akademi Kebidanan Budi Mulia Palembang.
1.4.3 Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi tenaga
kesehatan agar lebih pro aktif dalam memberikan asuhan para ibu hamil dengan
kejadian solusio plasenta, khususnya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
1.5
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada faktor umur dan paritas
yang berhubungan dengan kejadian solusio plasenta di Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
tahun 2007.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Dasar Solusio Plasenta
2.1.1
Definisi
Solusio plasenta adalah pelepasan sebagian atau keseluruhan plasenta
dari uterus selama kehamilan dan persalinan (Kuncoro, 2006: 259).
Solusio plasenta ialah terlepasnya plasenta dari tempat implementasinya
yang normal pada uterus, sebelum janin dilahirkan. Pada kehamilan dengan masa
gestasi di atas 22 minggu berat janin di atas 500 gram (Prawirohardjo, 2002).
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari insersi sebelum
waktunya (Manjoer, 2001: 279).
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya
normal terlepas dari perlekatannya sebelum janin lahir. Biasanya dihitung sejak
kehamilan 28 minggu (Mochtar, 1998: 280).
Solusio Plasenta adalah terlepasnya plasenta sebelum waktunya dengan
implantasi normal para kehamilan trimester ketiga (Manuaba, 1998: 258).
2.1.2
Etiologi
Menurut Mochtar (1998: 281) penyebab yang jelas
terjadinya solusio plasenta belum diketahui, hanya para ahli mengemukakan teori
bahwa akibat turunnya tekanan darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri
yang menuju ke rungan interviler, maka terjadilah anoksemia dari jaringan
bagian distalnya. Sebelum ini menjadi hektoris, spasme hilang dan darah kembali
mengalir ke dalam intervili, namun pembuluh darah distal tadi sudah demikian
rapuhnya serta mudah pecah. Sehingga terjadi hematoma yang lambat lain
melepaskan plasenta dari rahim. Darah yang berkumpul di belakang plasenta
disebut hematoma retroplasenter.
Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain :
(1)
Faktor vaskuler (80-90%), yaitu
toksemia gravidarum, glomepilonefritis kronika, dan hipertensi esensial.
Karena desakan darah tinggi, maka pembuluh darah mudah
pecah, kemudian terjadi haematoma retroplasenter dan plasenta sebagian
terlepas.
(2)
Faktor Trauma
-
Pengecilan yang tiba-tiba dari
uterus pada hidramnion dan gemeli.
-
Tarikan pada tali pusat yang
pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar, atau pertolongan
persalinan.
(3)
Faktor Paritas
Lebih banyak dijumpai pada multi dari pada primi.
Holemer mencatat bahwa lebih dari 83 kasus solusio plasenta dijumpai 45 multi
dan 18 primi.
(4)
Pengaruh lain seperti anemia,
malnutrisi, tekanan uterus pada vena dan caba interior dan lain-lain.
(5)
Trauma langsung seperti jatuh
kena tendang, dan lain-lain.
Menurut Suyono, dkk (2001) penyebab
utama dari solusio plasenta masih belum diketahui pasti. Meskipun demikian ada
beberapa faktor yang diduga mempengaruhinya, antara lain :
1.
Penyakit hipertensi menahun
2.
Pre-eklampsia
3.
Tali pusat yang pendek
4.
Trauma
5.
Tekanan oleh rahim yang
membesar pada vena cava intrior.
6.
Uterus yang sangat mengecil
(hidromnion pada waktu ketuban pecah, kehamilan ganda pada waktu anak pertama
lahir).
Disamping hal-hal di atas, ada juga pengaruh dari :
1.
Umur lanjut
2.
Multi paritas
3.
Ketuban pecah sebelum waktunya
(KPSW)
4.
Defisiensi asam folat
5.
Merokok. Alcohol, kokain
6.
Mioma uteri
Etiologi solusio plasenta hingga
kini belum diketahui dengan jelas, walaupun beberapa keadaan tertentu dapat
menyertainya, seperti umur ibu yang tua, multi paritas, penyakit hipertensi
menahun, pre-eklampsia, trauma, tali pusat yang pendek, tekanan pada vena kaba
interior, dan defisiensi asam tolik (Wiknjosastro, 2005: 377).
2.1.3
Klasifikasi
Menurut Wiknjosastro (2005: 376) plasenta dapat terlepas
seluruhnya : Solusio plasenta totalis, atau sebagian solusio plasenta
parsialis, atau hanya sebagian kecil pinggir plasenta yang sering disebut
ruptura sinus marginalis.
Perdarahan yang terjadi karena terlepasnya plasenta
dapat menyelundup keluar di bawah selaput ketuban yaitu pada solusio plasenta
dengan perdarahan keluar; atau tersembunyi di belakang plasenta yaitu pada
solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, atau kedua-duanya; atau
perdarahannya menembus selaput ketuban masuk ke dalam kantong ketuban.
Secara klinis solusio plasenta dibagi dalam :
1.
Solusio plasenta ringan
2.
Solusio plasenta sedang
3.
Solusio plasenta berat
Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tanda-tanda
kliniknya, hal ini sesuai dengan derajat terlepasnya plasenta.
2.1.4
Patofisiologi
Menurut Saifuddin (2005: 379-380) perdarahan dapat
terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang membentuk hematoma pada
desioua, sehingga plasenta terdesak dan akhirnya terlepas.
Apabila perdarahan sedikit, hematoma yang kecil ibu
hanya akan mendesak jaringan plasenta, peredaran darah antara uterus dan
plasenta belum terganggu dan tanda serta gejalanya pun tidak jelas. Kejadiannya
baru diketahui setelah plasenta lahir, yang ada pemeriksaan didapatkan cekungan
pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna
kehitam-hitaman.
Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus
karena otot uterus yang telah merenggang oleh kehamilan itu tidak mampu untuk
lebih berkontraksi menghentikan perdarahannya. Akibatnya, hematoma
selretroplasenta bertambah besar sehingga sebagian dan akhirnya seluruh
plasenta terlepas dari dinding uterus.
Nasib janin bergantung dari luasnya plasenta yang
terlepas dari dinding uterus apabila sebagian besar atau seluruhnya terlepas.
Anoksia akan mengakibatkan kematian janin. Apabila sebagian kecil yang
terlepas, mungkin tidak berpengaruh sama sekali, atau mengakibatkan gawat
janin. Waktu, sangat menentukan hebatnya gangguan pembekuan darah, kelainan
ginjal dan nasib janin. Makin lama sejak terjadinya solusio plasenta sampai
persalinan selesai, makin hebat umumnya komplikasi.
2.1.5 Gambaran Klinik
Menurut Sarwono (2005: 380) gambaran klinik plasenta
tergantung dari beberapa bagian plasenta yang terlepas.
1.
Solusio Plasenta Ringan
a.
Terlepasnya plasenta kurang
dari ¼ luasnya.
b.
Tidak memberikan gejala klinik
dan ditemukan setelah persalinan
c.
Keadaan umum ibu dan janin
tidak mengalami gangguan.
d.
Persalinan berjalan dengan
lancar pervagina (Manuaba, 1998 : 259).
Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan akan
kemungkinan seksio yang berbeda dengan perdarahan pervaginam yang berwarna
kehitam-hitaman, yang berbeda dengan perdarahan para plasenta previa sebaiknya
dilakukan pemeriksaan ultra sonografi (Sarwono, 2005: 380).
2.
Solusio Plasenta Sedang
a.
Terlepasnya plasenta lebih dari
1/4, tetapi belum mencapai 2/3 bagian.
b.
Dapat menimbulkan gejela klinik
:
·
Perdarahan dengan rasa sakit.
·
Perut terasa tegang.
·
Perut janin berkurang.
·
Palpasi dengan janin sulit
diraba.
·
Auskultasi jantung janin dapat
terjadi asfiksia ringan dan sedang.
·
Pada pemeriksaan dalam ketuban
menonjol.
·
Dapat terjadi gangguan
pembekuan darah.
3.
Solusio Plasenta Berat
Menurut Manuaba (2005: 260) gambaran
klinik solusio plasenta berat terdiri dari :
a.
Lepasnya plasenta lebih dari
2/3 bagian.
b.
Terjadinya perdarahan disertai
rasa nyeri.
c.
Penyulit pada ibu.
·
Terjadi syok dengan tekanan
darah menurun, nadi dan pernapasan meningkat.
·
Dapat terjadinya gangguan
pembekuan darah.
·
Pada pemeriksaan dijumpai
turunnya tekanan darah sungai syok, tidak sesuai dengan perdarahan dan
penderita tampak anemis.
·
Pemeriksaan abdomen tegang,
bagian janin sulit diraba; dinding perut terasa sakit; dan janin telah
meninggal dalam rahim.
·
Pemeriksaan dalam ketuban
tegang dan menonjol.
·
Solusio plasenta berat dengan
couvelaire uterus terjadi gangguan kontraksi dan atonia.
2.1.6
Gejala Sosulio Plasenta
Menurut
Suyono, dkk (2001) gejala yang timbul akibat solusio plasenta yaitu :
1. Perdarahan yang disertai nyeri,
juga di luar his.
2. Anemia dan syok, beratnya anemi
dan syok sering tidak sesuai dengan banyaknya darah yang keluar.
3. Uterus keras seperti papan dan
nyeri dipegang karena isi uterus bertambah dengan darah yang berkumpul di
belakang plasenta sehingga uterus tegang (Uterus Engois).
4. Palpasi sukar karena rahim keras.
5. Fundus uteri makin lama makin naik
6. Bunyi jantung biasanya tidak ada
7. Pada toucher teraba ketuban yang
tegang terus-menerus (karena isi uterus bertambah).
8. Sering ada proteinuria karena
disertai pre-eklampsia.
2.1.7
Diagnosis Solusio
Plasenta
Menurut Manuaba (1998: 260) diagnosis solusio plasenta
dapat ditegakkan dengan melakukan :
A.
Anamnesa
·
Terdapat perdarahan disertai
rasa nyeri.
·
Terjadi spontan atau karena
trauma.
·
Perut terasa nyeri.
·
Diikuti penurunan sampai
berhentinya gerakan janin dalam rahim.
B.
Pemeriksaan
- Pemeriksaan Fisik Umum
·
Keadaan umum penderita tidak
sesuai dengan jumlah perdarahan.
·
Tekanan darah menurun, nadi dan
pernapasan meningkat.
·
Penderita tampak anemis.
- Pemeriksaan Khusus
a.
Palpasi Abdomen
·
Perut tegang terus-menerus.
·
Terasa sakit saat dipalpasi.
·
Bagian janin sukar ditentukan.
b.
Auskultasi
·
Denyut jantung kanin bervariasi
dari asfiksia sampai berat.
·
Pemeriksaan dalam.
·
Terdapat pembukaan.
·
Ketuban tegang dan menonjol.
Diagnosis solusio plasenta didasarkan adanya perdarahan
ante partum yang bersifat nyeri, uterus yang tegang dan nyeri. Setelah plasenta
lahir ditemukan adanya infeksi (cekungan) pada permukaan maternal plasenta
akibat tekanan dari hematon netroplasenta (Suyono, dkk, 2001).
2.1.8
Penatalaksanaan Solusio
Plasenta
Menurut Mansjoer (2001: 280-281) sebelum dirujuk,
anjurkan pasien untuk tirah baring total dengan menghadap ke kiri, tidak
melakukan senggama, menghindari peningkatan tekanan rongga perut (misalnya
batuk, mengedan karena sulit buang air
besar). Pasang infus cairan HaCl fisiologis. Bila tidak memungkinkan, berikan
cairan peroral.
Pantau tekanan darah dan frekuensi nadi tiap 15 menit
untuk mendeteksi adanya hipotensi atau syok
akibat perdarahan pantau pula DJJ dan pergerakan janin.
Bila terdapat renjatan, segera lakukan resusitasi cairan
dan transfusi darah. Bila tidak teratasi, upayakan penyelamatan optimal. Bila
teratasi, perhatikan keadaan janin.
Setelah henjatan diatasi, pertimbangkan seksio sesarea
bila janin masih hidup atau persalinan pervaginam diperkirakan akan berlangsung
lama. Bila renjatan tak dapat diatasi, upayakan tindakan penyelamatan yang
optimal.
Setelah syok teratasi dan janin mati, lihat pembukaan.
Bila lebih dari 6 cm, pecahkan ketuban lalu infus oksitosin. Bila kurang dari 6
cm, lalukan sesksio sesarea. Bila tidak terdapat renjatan dan usia gestasi
kurang dari 37 minggu atau taksiran berat janin kurang dari 2.500 gram,
penanganan berdasarkan berat atau ringannya penyakit, yaitu :
a.
Solusio Plasenta Ringan
-
Ekspektif, bila ada perbaikan
(perdarahan berhenti, kontraksi uterus tidak ada, janin hidup) dengan tiran
baring, atasi anemia, USG, dan HCl, serial lalu tanggu persalinan spontan.
-
Aktif, bila ada perburukan (perdarahan
berlangsung terus, uterus berkontraksi, dapat mengancam ibu/janin). Usahakan
partus pervaginam dengan amniotomi atau infus oksitosin bila memungkinkan. Jika
terus perdarahan, skor perviks kurang dari 5 atau persalinan masih lama,
lakukan seksio sesarea.
b.
Solusio Plasenta Sedang/Berat
-
Resusitasi cairan
-
Atasi anemia dengan pemberian
transfusi darah
-
Partus pervaginam bila
diperkirakan dapat berlangsung dalam 6 jam per abdominan bila tidak dapat.
Bila tidak terdapat renjatan, usia gestasi 37 minggu atau
lebih/taksiran berat janin 2.500 gram atau lebih, pikirkan partus perabdominan
bila persalinan pervaginam diperkirakan berlangsung lama.
2.1.9
Komplikasi Solusio Plasenta
Menurut Mochtar (1998: 284-285) komplikasi dari seksio
sesarea yaitu :
a.
Komplikasi langsung (immediate)
·
Perdarahan
·
Infeksi
·
Emboli dan syok obyektif
b.
Komplikasi tidak langsung
·
Couvelair uterus, sehingga
kontraksi tak baik, menyebabkan perdarahan post partum.
·
Hekrosis korteks renalis,
menyebabkan anuria dan anemia.
·
Kerusakan-kerusakan organ seperti
hati, hipofisir, dan lainlain.
2.1.10
Prognosis Solusio
Plasenta
Menurut Mochtar (1998: 285-286) prognosis solusio
plasenta meliputi :
1.
Terhadap Ibu
Hal ini dikarenakan adanya perdarahan sebelum dan
sesudah partus, toksemia gravidarum, kerusakan organ teruatama nekrosis korteks
ginjal, dan infeksi.
2.
Terhadap Anak
Hal ini tergantung pada derajat pelepasan dari plasenta,
bila yang terlepas lebih dari 1/3 maka kemungkinan kematian anak 100% selain
itu juga tergantung pada prematuritas dan tindakan persalinan.
3.
Terhadap Kehamilan Berikutnya
Biasanya bila telah menderita vaskuler dengan solusio
plasenta, maka pada hamil berikutnya sering terjadi solusio plasenta yang lebih
hebat dengan partus prematurus/immanturus.
Pronosis ibu tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas
dari dinding uterus, banyaknya perdarahan, derajat kelainan pembekuan darah,
ada tidaknya hipertensi menahun atau pre-eklampsia, tersembunyi perdarahannya,
dan jarak waktu antara terjadinya solusio plasenta sampai pengosongan uterus.
Prognosis janin pada solusio plasenta berat hampir 100%
mengalami kematian pada solusio plasenta ringan dan sedang kematian janin
tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus dan tuanya
kehamilan. Perdarahan yang lebih dari 2000 ml biasanya menyebabkan kematian
janin. Pada kasus solusio plasenta tertentu seksio sesarea dapat mengurangi
angka kematian janin. Sebagaimana pada
setiap kasus perdahan, persediaan darah secukupnya akan sangat membantu memperbaiki prognosis ibu dan
janinnya (Saifuddin, 2005: 385).
2.2
Hubungan antara Umur dan
Paritas dengan Kejadian Solusio Plasenta Berdasarkan Hasil Penelitian
2.2.1
Umur
Dalam kurun waktu
reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah
antara umur 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan
pada usia < 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi. Kematian maternal
meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun. Hal ini disebabkan menurunnya
fungsi organ reproduksi wanita pada usia tersebut (Wiknjosastro, 2006: 23).
2.2.2
Paritas
Paritas 2-3 merupakan
paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1
dan paritas tinggi (lebih dari 3), mempunyai angka kematiaan maternal lebih
tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal Resiko pada paritas
tinggi dapat dikurangi dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada
paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Wiknjosastro, 2006: 23).