BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perdarahan antepartum
menurut World Health Organization (WHO) adalah perdarahan pervagina setelah 29 minggu kehamilan atau lebih.
Perdarahan yang terjadi umumnya lebih berbahaya dibandingkan pada umur
kehamilan 28 minggu karena biasanya disebabkan faktor plasenta; perdarahan dan
plasenta biasanya hebat dan mengganggu sirkulasi O2, CO2, dan nutrisi dari ibu
ke janin. (Wahid, 2008)
Menurut Penelitian WHO diseluruh dunia diperkirakan lebih dari
585.000 ibu setiap tahunnya meninggal pada saat hamil atau bersalin. Di Asia
Selatan, wanita berkemungkinan 1:18
meninggal akibat kehamilan atau persalinan selama kehidupannya, dibanyak Negara
Afrika 1:14, sedangkan di Amerika Utara hanya 1:6,366. Lebih dari 50% kematian di Negara berkembang
sebenarnya dapat dicegah dengan teknologi yang ada serta biaya yang relative
rendah. (Saifuddin,
2002)
Berdasarkan data Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
menyebutkan penyebab angka kematian ibu (AKI) diantaranya perdarahan sebanyak
30% dari total kasus kematian, eklamsia (Keracunan Kehamilan) 25%, infeksi 12%,
abortus 5%, partus lama 5%, emboli obstetri 3%, komplikasi masa nifas 8% dan
penyebab lain-lain 12%. (Siswono, 2005)
Dilihat dari penyebab angka kematian ibu (AKI) yang
utama adalah perdarahan, perdarahan yang terjadi pada ibu hamil salah satunya
disebabkan oleh plasenta previa. Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya
abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga menutupi sebagian atau
seluruh pembukaan jalan lahir, perdarahan pada ibu hamil antara lain perdarahan
antepartum perdarahan ini biasanya terdapat pada perdarahan jalan lahir setelah
kehamilan 22 minggu hal serupa dapat dapat pula terjadi pada kehamilan sebelum
22 minggu, perdarahan setelah kehamilan 22 minggu lebih banyak dan lebih
berbahaya dibandingkan sebelum kehamilan 22 minggu dan memerlukan penanganan
yang berbeda. Bahaya perdarahan antepartum umunya bersumber pada kelainan
plasenta, sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta
seperti kelainan serviks biasanya tidak terlalu berbahaya, oleh karena itu pada
setiap perdarahan antepartum harus selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber
pada kelainan plasenta. (Wiknjosastro, 2005)
Oleh karena itu Departemen
Kesehatan melakukan strategi agar semua asuhan antenatal dan sekitar 60%
persalinan dilayani oleh tenaga kesehatan terlatih untuk menurunkan AKI di
Indonesia. Strategi ini dilaksanakan untuk dapat
mengenali dan menanggulangi gangguan kehamilan dan persalinan sedini mungkin.
Penyiapan sarana pertolongan gawat darurat merupakan langkah antisipatif
terhadap komplikasi yang mungkin mengancam keselamatan ibu. (Sarwono, 2002)
Dari seluruh kasus perdarahan antepartum, plasenta
previa merupakan penyebab yang terbanyak, Oleh karena itu pada kejadian perdarahan
antepartum, kemungkinan plasenta previa harus dipikirkan lebih dahulu.
Penentuan macamnya plasenta previa bergantung pada besarnya pembukaan, misalnya
plasenta previa marginalis pada
pembukaan 2 cm dapat menjadi plasenta
previa lateralis pada pembukaan 5 cm. Begitu pula plasenta previa totlis pada pembukaan 3 cm dapat menjadi lateralis pada pembukaan 6 cm.
(Sastrawinata, 2004: 85)
Kejadian plasenta previa bervariasi di berbagai tempat
berkisar antara 0,3% sampai 0,6% dari keseluruhan persalinan, sedangkan di
rumah sakit lebih tinggi karena menerima rujukan dari luar. (Manuaba, 1998:253)
Beberapa penelitian mengatakan bahwa banyak factor yang
berhubungan dengan plasenta previa, diantaranya multipara, usia lanjut, riwayat
Caesar, kuretasi yang berulang, serta mioma uteri. (Sastrawinata, 2004: 85)
Data yang didapatkan di Rumah Sakit Umum Daerah Bari
Palembang pada tahun 2007 perdarahan yang terjadi akibat plasenta previa
sebanyak 30 kasus bersalin dari 2210 persalinan. Sedangkan menurut Dinas Kesehatan (Dinkes)
Palembang pada tahun 2007 yang mengalami perdarahan Hemorroghic Ante Partum (HAP)
sebanyak 15 orang.
Berdasarkan uraian diatas ,
maka peneliti tertarik untuk meneliti Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan Kejadian Plasenta Previa di Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang BARI Pada Tahun 2008”
1.2. Rumusan Masalah
Faktor-faktor
apa saja yang berhubungan dengan kejadian plasenta previa di Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang BARI tahun
2008?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.
Tujuan Umum
Untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian plasenta previa di
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI tahun 2008.
1.3.2.
Tujuan Khusus
1. Diketahuinya distribusi frekuensi plasenta
previa, umur, paritas, pendidikan di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI tahun
2008.
2. Diketahuinya hubungan antara umur ibu
dengan kejadian plasenta previa di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI tahun
2008.
3. Diketahuinya hubungan antara paritas ibu
dengan kejadian plasenta previa di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI tahun
2008.
4.
Diketahuinya hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian
plasenta previa di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI
tahun 2008.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1.
Bagi Tenaga Kesehatan (Rumah Sakit)
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi
rumah sakit untuk lebih meningkatkan mutu dan upaya pelayanan bagi ibu-ibu
dengan kejadian plasenta previa.
1.4.2.
Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
referensi atau kepustakaan untuk menambah pengetahuan mahasiswi Akademi
Kebidanan Budi Mulia Palembang.
1.4.3.
Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan penulis tentang kejadian plasenta previa dan pemahaman dalam
metodologi penelitian.
1.5. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah semua ibu bersalin
yang pernah di rawat dari bulan Januari-Desember di Instalasi Rawat Inap
Kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI tahun 2008.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Dasar Plasenta Previa
2.1.1 Definisi
Plasenta Previa adalah plasenta yang letaknya abnormal,
yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir. Pada keadaan normal plasenta terletak dibagian atas
uterus (Winkjosastro, 2005 : 365).
Plasenta previa adalah
perdarahan yang terjadi pada implantasi plasenta yang menutupi sebagian atau
seluruh osteum uteri internum (Manuaba, 2008 : 78).
Plasenta previa adalah
implantasi plasenta di bagian bawah sehingga menutupi ostium uteri internum,
serta menimbulkan perdarahan saat pembentukan segmen bawah rahim (Anurogo, 2008
: 1).
2.1.2
Etiologi
Penyebab pasti plasenta previa tidak selalu jelas dapat
diterangkan. Bahwasannya vaskularisasi yang berkurang atau perubahan atrofi
pada disedua akibat persalinan yang lampau dapat menyebabkan plasenta previa,
tidaklah selalu benar, karena tidak nyata dengan jelas bahwa plasenta didapati
untuk sebagian besar penderita dengan paritas tinggi. Memang dapat dimengerti
bahwa apabila aliran darah ke plasenta tidak cukup atau diperlukan lebih banyak
seperti pada kehamilan kembar, plasenta memperluas permukaannya, sehingga
mendekati atau menutupi sama sekali jalan lahir (Wiknjosastro, 2005 : 367).
2.1.3
Klasifikasi
Didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui
pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu. Disebut plasenta previa totalis
apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta; plasenta previa
lateralis apabila sebagian pembukaan tertutup dan jaringan plasenta; dan
plasenta previa marginalis apabila pinggir plasenta berada tepat pada pinggi
pembukaan. Plasenta yang letaknya abnormal pada segmen bawah uterus, akan
tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir, disebut plasenta letak
rendah. Pinggir plasenta berada kira-kira 3 sampai 4 cm di atas pinggir
pembukaan, sehingga tidak akan teraba pada pembukaan jalan lahir. Karena
klasifikasi akan berubahnya akan berubah setiap waktu. Umpamanya plasenta previa totalis pada pembukaan 4 cm mungkin akan
berubah menjadi plasenta previa parsialis pada pembukaan 8 cm (Wiknjosastro,
2005 : 365).
2.1.4
Patofisiologi
Plasenta previa adalah implantasi di segmen bawah rahim
sehingga menutupi kanalis servikalis dan mengganggu proses persalinan dengan
terjadinya perdarahan.
Menurut Manuaba (1998 : 253) implantasi plasenta di
segmen bawah dapat disebabkan oleh :
a.
Endometrium di fundus uteri
belum siap berimplantasi.
b.
Endometrium yang tipis sehingga
diperlukan perluasan plasenta untuk mampu memberikan nutrisi janin.
c.
Vili korealis pada korion leave yang peristen.
Perdarahan antepartum biasanya dibatasi pada perdarahan
jalan lahir setelah kehamilan 22 minggu. Walaupun patologi yang sama dapat pula
terjadi pada kehamilan sebelum 22 minggu. Perdarahan setelah kehamilan 22
minggu biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada sebelum kehamilan 22
minggu. Oleh karena itu, memerlukan penanganan yang berbeda. Pada setiap
perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa hal itu
bersumber pada kelainan plasenta (Wiknjosastro, 2005 : 362).
2.1.5
Gambaran Klinik
Pada umumnya plasenta previa meliputi perdarahan tanpa
rasa sakit. Kondisi ini terjadi pada saat pembentukan segmen bawah rahim,
sehingga terdapat pergeseran dinding rahim dengan plasenta yang menimbulkan
perdarahan. Bentuk perdarahan yang dialami sedikit tanpa menimbulkan gejala
klinis atau banyak disertai gejala klinis pada ibu dan janin. Gejala klinis ibu
bergantung pada keadaan umum dan jumlah darah yang hilang, yang bersifat
sedikit demi sedikit atau dalam jumlah besar dalam waktu singkat, perdarahan
banyak dapat menimbulkan syok sampai kematian. Sedangkan gejala klinis janin
meliputi bagian terendah belum masuk PAP atau terdapat kelainan letak,
perdarahan yang mengganggu sirkulasi, retroplasenter yang menimbulkan asfiksia
intrauterin sampai kematian janin, hemoglobin berkisar 59% dapat menimbulkan
kematian janin serta ibu (Manuaba, 2008 : 78).
Perdarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan
gejala utama dan pertama dari plasenta previa. Sumber perdarahannya ialah sinus
uterus yang terobek karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus, atau
karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahannya tidak dapat
dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk
berkontraksi menghentikan perdarahan itu, tidak sebagaimana serabut otot uterus
menghentikan perdarahan pada kala III dengan plasenta yang letaknya normal
(Wiknjosastro, 2005 : 368).
2.1.6
Gejala dan Tanda
Gejala yang paling khas dari plasenta previa adalah
perdarahan pervaginam (yang keluar melalui vagina) tanpa rasa nyeri yang pada
umumnya terjadi pada akhir triwulan kedua. Ibu dengan plasenta previa pada
umumnya asimptomatik (tidak memiliki
gejala) sampai terjadi perdarahan pervaginam. Biasanya perdarahan tersebut
tidak terlalu banyak dan berwarna merah segar. Pada umumnya perdarahan pertama
terjadi tanpa faktor pencetus, meskipun latihan fisik dan hubungan seksual
dapat menjadi faktor pencetus. Perdarahan terjadi karena pembesaran dari rahim
sehingga menyebabkan robeknya perlekatan dari plasenta dengan dinding rahim. Koagulapati jarang terjadi pada plasenta
previa. Jka didapatkan kecurigaan terjadinya plasenta previa pada ibu hamil,
maka pemeriksaan vagina tourche
(pemeriksaan dalam vagina) oleh dokter tidak boleh dilakukan kecuali di meja
operasi mengingat resiko perdarahan hebat yang mungkin terjadi (ANTARA, 2009 :
3).
Menurut Anurogo (2008 : 2),
gejala klinis dari plasenta previa, yaitu :
1.
Perdarahan dari plasenta
previa, yaitu : yang terjadi pada trimester ke tiga.
2.
Sering terjadi pada malam hari
saat pembentukan segmen bawah rahim.
3.
bagian terendah masih tinggi di
atas pintu atas panggul (kelainan letak).
4.
Perdarahan dapat sedikit atau
banyak sehingga timbul gejala.
2.1.7
Diagnosis Plasenta Previa
Menurut Wiknjosastro (2005 : 369), diagnosis plasenta
previa ditegakkan berdasarkan pada :
1.
Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu
berlangsung tanpa nyeri, tanpa alasan, terutama pada multigravida. Banyaknya
perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pemeriksaan
hematokrit.
2.
Pemeriksaan Luar
Bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas
panggul. Apabila presentasi kepala, biasanya kepalanya masih terapung di atas
pintu atas panggul atau mengolak ke samping dan sukar di dorong ke dalam pintu
atas panggul.
3.
Pemeriksaan In Spekulo
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah
perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan
vagina. Apabila perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta
previa harus dicurigai.
4.
Penentuan letak plasenta tidak
langsung
a.
Radiografi
b.
Radioisotofi
c.
Ultrasonografi
5.
Penentuan letak plasenta secara
langsung
a.
Perabaan fornises
b.
Pemeriksaan melalui kanalis
servikalis
2.1.8
Prognosis Plasenta Previa
Dengan penanggulangan yang
baik seharusnya kematian ibu karena plasenta previa rendah sekali atau tidak
ada sama sekali. Sejak diperkenalkannya penanganan pasif pada tahun 1945,
kematian perinatal berangsur-angsur dapat diperbaiki. Walaupun demikian, hingga
kini kematian perinatal yang disebabkan prematuritas tetap memegang peranan
utama.
Penanganan pasif maupun aktif
memerlukan fasilitas tertentu yang belum tercukupi pada banyak tempat di tanah
air kita, sehingga beberapa tindakan yang sudah
lama ditinggalkan oleh dunia kebidanan mutakhir masih terpaksa dipakai juga,
seperti pemasangan cunam willet dan
Versi Bravton Hikcs (Wiknjosastro, 2005 : 376).
2.1.9
Komplikasi Plasenta Previa
Pada ibu dapat terjadi
perdarahan, kehamilan preterm, letak janin abnormal, solusio plasenta serta hemostasis
(Anurogo, 2008 : 4).
Komplikasi dari kejadian plasenta, yaitu : perdarahan
dan syok, infeksi, laserasi serviks, plasenta akreta, prematuritas atau lahir
mati (Hanafiah, 2004 : 3).
2.1.10 Penatalaksanaan Plasenta
Previa
Menurut Anurogo (2008 : 3),
belum ada medikan yang spesifik dan bermanfaat dengan plasenta previa tocolysis dapat dipertimbangkan secara
hati-hati pada keadaan tertentu. Dukunglah, besarkanlah hati, dan berilah
semangat pada pasien plasenta previa untuk mempertahankan asupan (intake) zat besi dan asam folat sebagai safety margin terutama bila terjadi
perdarahan.
Sebagai tambahan, tocolytics dapat juga diberikan pada
kasus-kasus perdarahan minimal dan extreme gestation (pada perkembangan dan
pertumbuhan normal atau lebih dari 24 minggu), maka dokter sebaiknya
menyarankan pasien untuk mondok di rumah sakit sampai melahirkan, mengingat ini
berpotensi tinggi untuk menjadi solusio plasenta dan kematian janin. Bila tidak
ada renjatan, usia gestasi 37 minggu atau lebih, taksiran berat janin 2500 gr
atau lebih, lakukan Pemeriksaan Dalam Meja Operasi (PDMO). Bila ternyata
plasenta previa, lakukan persalinan
perabdominam. Bila bukan usahakan partus pervaginam (Mansjoer, 2001 : 277).
2.2
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Plasenta Previa Berdasarkan Hasil Penelitian
2.2.1
Umur
Dalam kurun waktu reproduksi
sehat dikenal bahwa usia aman untuk hemailan dan persalinan adalah umur 20 3-
tahun. kematian maternal pada wanita hamil
dan melahirkan. Pada
usia < 20 tahun ternyata 2 – 5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal
yang terjadi pada usia 20 – 30 tahun. Kematian maternal meningkat kembali
sesudah usia 30 – 35 tahun (Wiknjosastro, 2005 : 23).
2.2.2
Paritas
Paritas 2 – 3 merupakan
paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paling
tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian lebih tinggi, lebih tinggi
paritas, lebih tinggi kematian maternal. Resiko pada paritas tinggi dapat dikurangi dengan
keluarga berencana (Wiknjosastro, 2005 : 23).
Plasenta previa lebih sering
terjadi pada wanita, multipara, karena adanya jaringan perut uterus akibat
kehamilan berulang. Jaringan perut ini menyebabkan tidak adekuatnya persediaan
darah ke plasenta sehingga plasenta menjadi lebih tipis dan mencakup daerah
uterus yang lebih luas (Karkata, 2007).
2.2.3
Pendidikan
Pendidikan dapat mempengaruhi
seseorang termasuk juga perilaku terhadap pola hidup dalam memotivasi untuk
siap berperan serta dalam perubahan kesehatan. Makin
tinggi pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga banyak
pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya makin rendah atau kurang pendidikan
seseorang akan menghambat perkembangan sikap terhadap nilai-nilai yang baru
diperkenalkan (Kuncoro Ningrat, 2007).